Maaf, area blog ini tidak dapat di Klik Kanan. Terimakasih Telah Berkunjung di PUSTAKA-ALI. By Ali Morteza Pustaka - Ali: Commentary Holy Quran (Tafsir)
. . . SELAMAT DATANG DI BLOG Pustaka - Ali” . . . . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . .
Tampilkan postingan dengan label Commentary Holy Quran (Tafsir). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Commentary Holy Quran (Tafsir). Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Desember 2011

Nabi SAWW Adalah Cahaya, Berbeda Dengan Nabi-Nabi Yang Lain

Ditulis dan Diterjemahkan oleh : ALI MORTEZA


قَدْ جاءَكُمْ مِنَ اللهِ نُورٌ وَ كِتابٌ مُبينٌ

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan.” (QS. Al-Ma’idah : 15)


قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتابَ الَّذي جاءَ بِهِ مُوسى‏ نُوراً وَ هُدىً لِلنَّاسِ

“....Katakanlah, “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?”....” (QS. Al-An’am : 91)


Tafsir :
  1. Berbeda antara nabi Musa as yang diberi Al-Kitab oleh Allah dalam QS. Al-An’am : 91 tersebut dengan Al-Kitab yang ada pada Nabi saww dalam QS. Al-Ma’idah : 15.
  2. Perlu diketahui bahwasannya Al-Kitab yang diturunkan kepada nabi Musa as adalah Al-Kitab yang dijadikan oleh Allah sebagai cahaya, dan kemudian cahaya itu diturunkan untuk nabi Musa dan kemudian dijadikan sebagai petunjuk bagi umat manusia.
  3. Berbeda dengan Al-Kitab yang ada pada Nabi saww, Al-Kitab yang diturunkan pada Nabi saww adalah Al-Kitab yang isinya menerangkan untuk umat manusia. Lantas mengapa Al-Kitab pada Nabi saww ini tidak Allah jadikan cahaya sebagaimana layaknya yang diterima oleh nabi Musa as ?
  4. Ya, karena cahaya itu sendiri adalah Nabi saww, dan untuk apalagi Tuhan menyampaikan cahaya sedangkan yang akan Allah turunkan itu ditujukan kepada cahaya itu sendiri.
  5. Maka, telah jelaslah bahwasannya Nabi saww ini adalah cahaya, dan ini yang membedakan dengan nabi-nabi yang lain yang hanya menerima cahaya dari Allah dan bukan sebagai cahaya itu sendiri.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
Referensi:
Kitab Mulla Shadra yang berjudul Asrârul Âyât hal. 20 diterbitkan di Tehran oleh Theosophy dan Philosophy tahun 1360.
Selengkapnya...

Rabu, 21 Desember 2011

Dua Khalifah Allah yang Saling Berkontradiksi

Penulis : ALI MORTEZA


وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”.” (QS. Al-Baqarah : 30)


يا داوُدُ إِنَّا جَعَلْناكَ خَليفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوى‏ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبيلِ اللهِ إِنَّ الَّذينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبيلِ اللهِ لَهُمْ عَذابٌ شَديدٌ بِما نَسُوا يَوْمَ الْحِسابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shad : 26)

Tafsir :
  1. Perbedaan antara QS. Al-Baqarah : 30 dengan QS. Shad : 26 ini terletak pada kata (فِي الْأَرْضِ). Dalam QS. Al-Baqarah : 30 (فِي الْأَرْضِ) dan kemudian dilanjutkan dengan kata (خَلِيْفَةً), sedangkan QS. Shad : 26 mendahulukan (خَلِيْفَةً) barulah kemudian kata (فِي الْأَرْضِ).
  2. Perbedaan makna karena peletakan kata yang berbeda ini mengharuskan kepada makna yang sangat berbeda. Maksud Allah akan berbeda dengan adanya peletakan kata yang berbeda, karena Allah tidak akan salah dalam menuntun umatnya dengan Al-Quran ini.
  3. QS. Al-Baqarah : 30 berarti “Allah menjadikan di muka bumi seorang khalifah”, yang artinya adalah khalifah yang menguasai khalifah tersebut.
  4. QS. Shad : 26 berarti “Allah menjadikan khalifah di muka bumi ini”, yang artinya adalah khalifah yang menguasai bumi.
  5. Telah jelas bahwa ada dua macam khalifah yang Allah adakan di bumi ini.
  6. Perlu diketahui khalifah yang dikuasai muka bumi ini dengan khalifah yang menguasai muka bumi ini.
  7. Khalifah yang dikuasai muka bumi ini adalah khalifah yang terikat dengan materi. Khalifah yang masih diatur oleh alam ini.
  8. Khalifah (pemimpin) yang menguasai bumi ini adalah khalifah yang mengikat materi. Yakni khalifah yang mampu mengatur alam materi ini dari dirinya.
  9. Khalifah yang dikuasai dengan materi adalah khalifah yang akan merusak bumi ini, sebagaimana jawaban malaikat “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?”.
  10. Khalifah yang menguasai bumi ini, menguasai segala materi ini, adalah khalifah yang mampu membawa keadilan bagi semua umat manusia, sebagaimana kalimat “...berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil...”.
  11. Khalifah yang mampu menguasai materi ini adalah nabi Daud as, maka khalifah yang sederajat dengan nabi Daud adalah khalifah yang sempurna yang memang Allah ciptakan untuk mengatur manusia.
  12. Khalifah yang justru akan merusak bumi adalah khalifah selalu bertele-tele dengan materi-materinya dan apapun yang ada di bumi ini.
Selengkapnya...

Senin, 12 Desember 2011

TAFSIR SURAT AL-AHZDAB (ayat 33) Ditulis Oleh : Ali Morteza

TAFSIR SURAT AL-AHZDAB (ayat 33)


Ditulis oleh ALI MORTEZA


وَ قَرْنَ في‏ بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجاهِلِيَّةِ الْأُولى‏ وَ أَقِمْنَ الصَّلاةَ وَ آتينَ الزَّكاةَ وَ أَطِعْنَ اللهَ وَ رَسُولَهُ إِنَّما يُريدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهيرا

“Dan hendaklah kamu menetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah zaman dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.”


Tafsir :

  1. Ayat ini membatasi pengertian Ahlul Bait dengan adanya beberapa kaidah bahasa arab yang tertuang di dalam kalimat-kalimat ayat ini, seperti pada no. 2 dan seterusnya.
  2. Penggunaan kata (إِنَّما) atau “sesungguhnya” yang digunakan sebagai pengecualian dan pembatasan. Bentuk (إِنَّما) ini biasa disebut dengan “aadatu lilqashr”. Sehingga kalimat setelah (إِنَّما) ini adalah kalimat yang ditujukan kepada objek yang terbatas.
  3. Pengunaan kata ganti (عَنْكُمُ) atau “dari kalian” atau “darimu” ini yang menjelaskan adanya kaum lelaki, karena (كُمُ) atau “kalian” atau “-mu” ini dalam kaedah bahasa Arab adalah “kalian (untuk laki-laki)” atau “-mu (untuk laki-laki)”. Dan ini membedakan dengan kalimat-kalimat sebelumnya, yaitu kata (كُنَّ) atau “kalian (untuk perempuan)” atau “-mu (untuk perempuan)” yang terdapat pada kata (بُيُوتِكُنَّ) atau “di rumah kalian (untuk perempuan)” atau “di rumahmu (untuk perempuan)” yang mana kata ini menjelaskan kepada perempuan, dengan demikian jelas bahwasannya, istri-istri Nabi ini yang menjadi pokok pembicaraan ayat-ayat sebelumnya(*) dan juga setelahnya itu telah mengeluarkan pembicaraan mengenai ahlul bait. Sedangkan pada ayat 33 Al-Ahzab ini setelah kata (إِنَّما) atau “sesungguhnya” ini menjelaskan mengenai Ahlul Bait, sehingga, bisa dilihat bahwa sebelum kata (إِنَّما) ini membicarakan mengenai istri-istri Nabi, dan kemudian setelah kata (إِنَّما) membahas masalah Ahlul Bait, maka istri-istri Nabi tidak termasuk di dalamnya.
  4. Kata kerja yang digunakan ayat ini adalah (مضارع) atau continuous (dalam bahasa Inggris) atau sedang terjadi/dilakukan, ini pertanda bahwa kehendak Allah ini tidak mengenal waktu dan tempat baik itu (يُريدُ) atau “bermaksud”, (يُذْهِبَ) atau “menghilangkan” atau (يُطَهِّرَ) atau “menyucikan”.
  5. Dalam ayat ini Allah menjauhkan kotoran dari Ahlul Bait, bukan menjauhkan Ahlul Bait dari kotoran. Bisa dikatakan, Allah mencegah dari adanya kotoran-kotoran (dosa).
  6. Penjauhan kotoran demikian ini tidak menghilangkan ikhtiyar Ahlul Bait, berbeda dengan Ahlul Bait yang dijauhkan. Jika Allah menjauhkan kesalahan dari Ahlul Bait, maka Ahlul Bait tetap pada ikhtiyarnya sebagai manusia. Sedangkan jika Allah menjauhkan Ahlul Bait dari kesalahan, maka Ahlul Bait tidak lagi ada ikhtiyar, karena Ahlul Baitnya yang dijauhkan dari kesalahan, sehingga Ahlul Bait tidak perlu berusaha susah payah dalam hidup, tanpa shalatpun, tetap Ahlul Bait dijauhkan dari kesalahan, maka yang demikian adalah salah, karena Ahlul Bait tidak ikhtiyar jika demikian. Maka dari itulah dikatakan bahwasannya, kesalahanlah yang dijauhkan dari Ahlul Bait.
  7. Kalimat (الرِّجْسَ) dalam bahasa Arab ini berarti kotoran-kotoran, baik lahir maupun batin. Sehingga, kotoran-kotoran lahir-batin ini yang dijauhkan dari Ahlul Bait oleh Allah. 
  8. Karena ayat ini menggunakan bentuk (كُمُ), maka bentuk kata ini mengharuskan ada orang orang yang dimaksudkan. Sebagaimana dalam bahasa Indonesia sendiri contoh kalimat “Aku berjalan dengannya”. Maka, kata “-nya” ini mengharuskan orang khusus yang dimaksudkan. Sama halnya bentuk (كُمُ) ini. Dan dari inilah dikatakan bahwa Ahlul Bait di sini terbatas. Yakni siapa ?
  9. Sebagaimana dalam riwayat(**). Ummu l`mu`minin Aisyah mengatakan, "Pada suatu pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya; kemudian datang Fathimah,lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca QS. Al-Ahzab : 33 : ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ ". Dan Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. telah mengerudungkan sehelai kain ke atas Hasan, Husayn, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, "Ya Allah, mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya,". Kemudian Ummu Salamah berkata: "Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah ?". Beliau bersabda, "Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan".(****)
  10. Ayat ini juga menjelaskan kema’shuman Ahlul Bait, sebagaimana Allah menjauhkan kotoran-kotoran baik lahir maupun batin, itu sudah jelas.
  11. Dengan disebutkannya objek “Allah” ini menjelaskan adanya inayah Allah kepada mereka Ahlul Bait.
  12. Adanya inayah Allah ini karena mereka Ahlul Bait memiliki tugas. 
  13. Untuk menjadi tauladan manusia dibutuhkan kematangan mental dan spiritual
  14. Ahlul bait adalah manusia-manusia pilihan.
  15. Manusia akan menoreh setiap perbuatan dan prilaku tidak baik dari orang lain apalagi dari suri tauladannya, karena pribadi-pribadi ini harus agung dan mulia dari seluruh prilakunya.
  16. Iradah yang ada dalam ayat ini adalah iradah takwiniyyah, yang berarti penciptaan. Artinya iradah takwiniyyah Allah ini berhubungan dengan penciptaan. Sebagaimana Allah mengatakan pada QS. Yasin : 82 : “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka terjadilah ia.”. Dalam ayat ini Allah Swt, dengan iradah takwiniyyah-Nya telah memberikan kekuatan pada Ahlul Bait untuk dapat meninggalkan segala kotoran dan menjauhkannya, sehingga mereka selamanya terjaga dari dosa.
  17. Ahlul bait adalah manusia-manusia sempurna yang menjadi manifestasi-manifestasi (tajalli) Allah.
  18. Ahlul bait adalah hakikat Al-Quran suci, karena Al- Quran mengatakan tidak ada yang bisa memahami Al-Quran kecuali orang-orang yang suci. Ini jelas.
  19. Adanya pengukuhan (penekanan) di dalam ayat ini selain menjelaskan kesungguhan dan kepastian perbuatan Tuhan juga menjelaskan tentang kesempurnaan kesucian mereka. Artinya bahwa mereka adalah orang yang paling suci pada zamannya.
  20. Penggunaan kata kerja dalam bentuk continous dan adanya (كُمُ) menjelaskan adanya pribadi-pribadi yang disucikan dalam setiap zaman.
  21. Kehendak Allah akan penyucian mereka, karena Allah dalam perbuatanNya memiliki tujuan yang mana tujuanNya adalah menjadikan mereka figur-figur dan tauladan bagi umat manusia.
  22. Karena mereka adalah orang-orang yang suci dalam prilaku, suci dalam spiritual maka pandangan mereka mampu tembus keseluruh alam jagat raya tidak terkecuali manusia. Sebagaimana perkataan Allamah Thaba’thaba’i mengatakan, “Akal itu jika telah melangit, maka ia akan tahu segala materi, dari sebelum adanya materi hingga setelah adanya dan hingga tidak adanya materi itu kembali”.(***)
  23. Untuk bisa mengenali mereka, ya kita diharuskan untuk memiliki kesenyawaan dengan mereka yaitu kesucian. Artinya untuk mengenali mereka perlu adanya “tazkiyatun nafs” yakni penyucian diri dulu pada diri kita masing-masing.
  24. Makna (يُذْهِبَ) dan (يُطَهِّرَ) dalam ayat itu bermakna bukan penolakan, bukan juga pengangkatan. Artinya, kalau pengangkatan itu mengangkat yang sudah ada, sedangkan penolakan menolak dari awal. (kaedah ilmu Nahwu)
  25. Kalimat (تَطْهيرا) adalah maf’ul muthlaq (atau objek dalam sebuah kalimat yang menunjukkan kesungguhan, yang menunjukkan pembicara itu sungguh-sungguh atau benar-benar menginginkan atau menghendaki yang diucapkan tersebut) yang ada dalam ayat tersebut menunjukan keagungan artinya penyucian yang ada dalam ayat ini bersifat khusus.
  26. Dari adanya kalimat (إِنَّما) sebagai kata untuk membatasi, ini menjelaskan bahwa Allah tidak punya kehendak lain kecuali mensucikan mereka.
  27. Kalimat (يُريدُ), kata kerja bentuk (إفعل) memiliki makna permohonan dan permintaan bersamaan dengan adanya ikhtiar dan pilihan.
  28. Di dalam ayat ini yang termasuk anggota Ahlul Bait adalah Nabi. Karena itu penyucian lahir-batin dan penolakannya memiliki kesamaan dengan anggota-anggota Ahlul Bait lainnya(Imam Hasan bin Ali, Imam Husain bin Ali, Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah). Karena untuk anggota-anggota Ahlul Bait yang lain memiliki makna yang berbeda, maka harus ada isyarat lain yang terpisah yang menjelaskan perbedaan tersebut. Dengan demikian ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan istri-istri Nabi. Ini jelas.
  29. Kalau Ahlul Bait ini termasuk Ahlul Bait nabi niscaya ayat itu tidak dibatasi dan tidak dikecualikan, karena ayat sebelumnya berbicara juga tentang istri-istri Nabi. Maka dari itu, Ahlul Bait di sini adalah khusus lima orang itu.
  30. Alquran tidak pernah menyebutkan istri-istri Nabi dengan sebutan Ahlil Bait. Dan hanya menyebutkan dengan panggilan “Wahai perempuan Nabi” atau (يانساءالنبي) atau “Wahai istri Nabi”.
  31. Istri Nabi sebagai Ahlil Bait Nabi dalam pengertian secara masyarakat umum bukan khusus. Artinya ketika kita membicarakan tentang keluarga maka ada ayah, ibu dan sebagainya. 
  32. Kalau Istri-istri nabi dimasukkan juga pada ahlul bait itu tidak sesuai dengan makna penyucian dari segala kotoran karena dalam surat yang lain istri-istri nabi pun ada juga yang menyakiti Nabi sehingga Allah mengancam untuk menceraikannya yang terdapat dalam surat At- Tahrim.



(*)   : QS. Al-Ahzab : 1-32
(**) : Lihat dalam :
- Shahih Muslim bab fadha`il Ahli bayti l`Nabiyy
- Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/147
- Sunan Al-Bayhaqi 2/149
- Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5
(***) : Dalam buku Bidayah Al-Hikmah pelajaran sebelas tentang knowledge, knower, and object.
(****): HR Al-Turmudzi 2:319

Referensi :
- Buku Angin Wilayah
- Buku Bidayah Al-Hikmah
- Shahih Muslim
- Al-Mustadrak 'ala Al-Shahihayn
- Tafsir Ibn Jarir Al-Thabari
- HR At-Turmudzi
Selengkapnya...

Sabtu, 10 Desember 2011

Tafsir QS. At-Taubah : 119

Ditulis oleh ALI MORTEZA

Tafsir QS. At-Taubah : 119


يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ كُونُوا مَعَ الصَّادِقينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan kemudian bersamalah kamu dengan orang-orang Shadiq.”

Tafsirnya :

  1. Ayat ini menjelaskan bahwasannya ada 3 kelompok manusia, yakni (آمَنُوا) atau orang beriman, (اتَّقُوا) atau orang bertakwa, (الصَّادِقينَ) atau orang Shadiq.
  2. Apabila kita ambil satu kelompok orang-orang dari tiga kelompok di atas. Yakni orang-orang yang beriman. Dalam ayat ini menjelaskan bahwa tidak setiap orang beriman itu bertaqwa. Sebagaimana kalimat (آمَنُوا اتَّقُوا) atau “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah”. Maka dapat dilihat bahwa orang beriman ini masih diperintahkan oleh Allah untuk bertakwa.
  3. Bahkan apabila kita melihat ayat yang lain juga, Allah memerintahkan orang beriman itu untuk beriman(*), sehingga bisa dikatakan, tidak setiap orang beriman itu beriman.
  4. Keimanan itu bertingkat-tingkat, tingkatan pertama adalah iman secara lisan atau perbuatan, tingkatan kedua adalah iman secara batin, dan tingkatan iman terakhir adalah iman secara lahir dan batin. Inilah kaedah akal.
  5. Panggilan (يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا) atau “Wahai orang-orang yang beriman” ini untuk semua orang yang beriman, tanpa terkecuali satupun dalam tingkatan orang beriman apapun, yakni baik beriman secara lisan maupun batin dan iman secara lisan-batin pun.
  6. Setiap orang yang telah menyatakan dirinya itu beriman, maka hendaknya ia meningkatkan dirinya untuk mencapai takwa. Sebagaimana perintah-Nya : (يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا) atau “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah”.
  7. Dalam meningkatkan kualitas keimanan itu tidak mengenal masa atau fase, karena itulah Allah memerintahkan secara langsung setelah beriman maka diperintahkan untuk bertaqwa. 
  8. Untuk menuju proses takwa, maka ada perjuangan tersendiri. Oh, mengatakan ada perjuangan tersendiri demikian ? kok bisa ? tahu darimana ? Jawabannya adalah, perjuangan tersendiri itu akan timbul ketika orang-orang beriman ini ingin melaksanakan perintah, yakni perintah untuk bertakwa.
  9. Lantas untuk mencapai ketakwaan itu sendiri bagaimana ? Perlu diketahui, bahwasannya ketakwaan itu tidak akan pernah bisa tercapai tanpa keberadaan Shadiqin. Ini adalah syarat pertama. Dan syarat kedua adalah keharusan orang-orang beriman itu untuk terus bersama dengan orang-orang Shadiq. Sebagaimana dalam ayat ini dijelaskan, kalimat pertama yang menunjukkan syarat pertama ini adalah “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah”. Lantas bertakwanya ini bagaimana ? Maka jawabannya ini adalah syarat kedua dalam kalimat kedua yakni “…kemudian bersamalah orang-orang yang Shadiq”.
  10. Loh, orang Shadiq itu siapa ? Jawabannya ada di no. selanjutnya. Hehehe
  11. Untuk mencapai tingkat takwa harus berawal dari mengenal Shadiqin, bener kan ? ya Dong. Ali . . . lanjut . .
  12. Pernyataan Al-Quran yang mengatakan “…bersamalah orang-orang Shadiq” ini menunjukkan kebersamaan yang bersifat batiniyyah alias tidak tampak, sehingga kebersamaan yang dimaksudkan ini tidak dibatasi ruang dan waktu. Karena jika memang bersama orang-orang Shadiq ini bersifat lahiriyyah, maka Tuhan harus menunjukkan siapa orang-orang Shadiq setiap waktu, setiap zaman, dan terus hingga kiamat, dan dari segi tempat, orang-orang Shadiq ini harus selalu ada di setiap tempat, kampung, dll. bahkan harus selalu satu kamar bersama, mandi juga bersama, gitu kah ? hehehe. Karena kan perintahnya harus selalu bersama, maka jika terlepas satu detikpun, maka ia sudah turun drajat menjadi orang yang beriman lagi deh. Duh, susah dan ribet ya perintah Tuhan ? Eh, maaf Boz, bukan Tuhan yang ribet, tapi orang yang berpikir bahwa perintah itu ditujukan untuk orang Shadiq secara lahiriyyah. Yaaaaa . . . sulit kan ? Makanya, kebersamaan di sini adalah bersifat batiniyyah. Yakni, hati, pikiran, dan jiwa ini haruslah mengikuti sebagaimana adanya orang Shadiq. Lantas orang Shadiq ini siapa ?
  13. Pribadi-pribadi orang Shadiq dalam setiap generasi umat manusia itu harus senantiasa ada, sebagaimana panggilan Allah kepada orang-orang beriman "Wahai orang-orang yang beriman" atau (يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا) dalam ayat tersebut tidak terbatas pada orang-orang dimasa Nabi saja.
  14. Ayat ini juga menjelaskan bahwa pribadi-pribadi orang Shadiq ini tertentu jumlahnya, mengapa ? Ya, karena Allah memang berhak menentukan. Karena, jika Allah tidak menentukan siapa orang Shadiq, maka orang beriman tidak akan pernah bisa bertakwa selama tidak ada orang Shadiq. Jadi, sebelum adanya orang beriman dan orang bertakwa, maka Allah sudah menentukan dahulu orang Shadiqnya, agar orang-orang beriman bisa menjadi orang bertakwa karena kebersamaannya dengan orang-orang Shadiq.
  15. Pribadi orang Shadiq adalah pribadi manusia sempurna tidak sekedar hanya ditentukan dan ditugaskan untuk ada menunggu orang-orang beriman yang ingin naik tingkat menjadi orang-orang bertakwa saja. Ya jelaslah, bahwa orang Shadiq ini haruslah sempurna jauh daripada orang beriman, karena orang Shadiq ini yang selalu diikuti oleh orang-orang beriman sepanjang zaman.
  16. Dari ayat ini juga diketahui bahwasannya, kelompok orang beriman dan kelompok orang bertakwa ini tidak akan mungkin dan juga tidak akan pernah menjadi kelompok orang Shadiq. Karena orang Shadiq ini adalah orang-orang pilihan Allah dan telah ditetapkan oleh Allah sebelum adanya orang-orang beriman dan sebelum adanya orang beriman yang telah menjadi orang bertakwa.
  17. Orang Shadiq ini adalah orang-orang yang akan menjelaskan spiritual juga akan menjelaskan tentang tugas. Loh kenapa begitu ? Ya, karena maqam ini hanya mereka yang bisa mencapai. Yakni, maqam atau tingkatan orang-orang sempurna yang akan diikuti oleh orang beriman. Karena diikuti, mereka orang Shadiq ya haruslah menjelaskan apapun itu secara spiritualitas dan harus juga menjelaskan apa saja tugas-tugas untuk orang-orang beriman dan bertakwa. Benar kan ? Ya dong, Ali.
  18. Dalam ayat ini juga diketahui, bahwa Allah itu memerintahkan orang-orang beriman itu bertakwa. Sudah sepakat ? Ok, lanjut. Kemudian kita lihat, Allah dalam ayat ini tidak mengatakan “…bersamalah orang-orang Shadiq” atau (وَ كُونُوا مَعَ الصَّادِقينَ), yakni menggunakan kata (مَعَ) atau “bersama”, bukan mengatakan “…menjadilah orang-orang Shadiq” atau ( كُونُوا مِنْ الصَّادِقينَ), yakni menggunakan kata (مِنْ). Sehingga dari sini bisa dilihat, bahwa orang Shadiq ini tidak akan pernah ada lagi yang baru, karena Allah telah menentukan itu. Dan wajib atas orang beriman mengetahui siapa orang Shadiq pada zamannya.
  19. Maka, orang Shadiq ini pastilah memiliki maqam ma’shum, yakni tidak ada kesalahan sekecil apapun, itu salah satunya dan wajib sempurna.
  20. Maka, orang Shadiq pada zaman dahulu ketika zaman Nabi SAWW, maka nampaklah ahlulbait, sedangkan saat ini dan di zaman ini adalah Al-Imam Al-Mahdi.




-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
(*) : Dalam QS. An-Nisa’ : 136 yang berbunyi :



يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللهِ وَ رَسُولِهِ وَ الْكِتابِ الَّذي نَزَّلَ عَلى‏ رَسُولِهِ وَ الْكِتابِ الَّذي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَ مَنْ يَكْفُرْ بِاللهِ وَ مَلائِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً بَعيداً



Yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”



Sumber : http://karya-ali-mortezaعلى-مرتضى--.com Selengkapnya...

Jumat, 09 Desember 2011

Tafsir QS. An-Nisa : 59 Ditulis oleh ALI MORTEZA

Ditulis oleh ALI MORTEZA

Tafsir QS. An-Nisa : 59


يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَطيعُوا اللهَ وَ أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ في‏ شَيْ‏ءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ وَ أَحْسَنُ تَأْويلاً

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.


Tafsirnya :

  1. Allah menyuruh kepada setiap orang yang beriman dengan berbagai tingkatannya
  2. آمَنُوا disini tidak hanya pada zaman nabi, karena adanya perintah kepada orang-orang beriman yakni bertaqwalah(*), berimanlah(**), dan taatlah kalian(***) dst.
  3. Tidak setiap orang beriman itu ta’at kepada Allah karena itu orang beriman masih diperintahkan ta’at kepada Allah, begitu juga terhadap Rasul(**), maka mutlak harus ta'at pula kepada Ulil Amr. Karena perintah untuk ta’at di sini memang bersifat mutlak baik pada Allah, Rasul maupun pada Ulil Amr.
  4. Objek yang harus dita’ati oleh orang-orang yang beriman itu telah jelas di dalam ayat An-Nisa' : 59 ini, yakni objek yang harus ditaati adalah Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amr.
  5. Ayat ini sudah sangat jelas memerintahkan untuk mentaati tiga objek (Allah, Rasul, dan Ulil Amr). Karena, jika perintahnya tidak jelas, maka akan menyebabkan kesalahan bagi yang orang beriman yang diperintahkan untuk melaksanakan perintah itu. Dalam ayat itu diperintahkan untuk ta'at, maka jelas haruslah ta'at.
  6. Sebagaimana keta’atan kepada Rasul, ini telah jelas siapa subjeknya yakni Rasul. Maka ta'at kepada Ulil Amr pun juga harus jelas siapa objeknya.
  7. Dalam ayat An-Nisa' : 59 ini, Allah sudah sangat jelas menentukan batasan-batasan perintah yang harus dita'ati itu siapa. Pada ayat ini Allah menentukan objek itu adalah Allah sendiri dan Rasul-Nya. Maka, kedua objek itu sudah jelas. Akan tetapi, bagaimana dengan Ulil Amr ? Maka Allah-pun juga wajib mutlak harus menentukan siapa juga siapa yang termasuk objek kategori Ulil Amr itu.
  8. Secara keilmuan, spiritual, dan apapun kesemuanya yang ada pada Rasul, haruslah ada dan sama-sama dimiliki oleh Ulil Amr, karena itu Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk ta'at kepada Ulil Amr juga. Dan jika dilihat dari kesempurnaan Ulil Amr, maka Ulil Amr yang dimaksud sezaman dengan orang-orang yang beriman pun haruslah sempurna juga. Sedangkan orang-orang beriman itu tidak hanya ada pada zaman Rasul saja, sampai detik ini pun banyak orang-orang yang beriman. Lantas dimana Ulil Amr sebagai manusia yang sempurna itu ? Tentunya wajib ada, dan pasti ada pada zaman kita sekarang. Atas kesempurnaan Ulil Amr pada zaman kita saat ini menjadikan orang tidak sempurna (kita) ini tidak mampu mengetahui ketampakannya. Akan tetapi, dialah Ulil Amr zaman kita saat ini. Karena ayat An-Nisa' : 59 ini telah menjelaskan harus ada Ulil Amr untuk dita'ati oleh orang beriman. 
  9. Dengan demikian Ulil Amr bukan lagi termasuk آمَنُوا (orang-orang yang beriman), karena Ulil Amr ini adalah orang yang dita'ati oleh orang beriman. Jika kita adalah seorang anak, maka kita punya ayah secara nampak atau tidak. Maka adanya Ayah secara nampak atau tidak, yaaa . . . kita WAJIB dan TETAP harus ta'at, bukan ?
  10. Kalau Ulil Amr yang dimaksud itu dipaksakan masuk dalam bagian kategori آمَنُوا (orang-orang beriman), maka pernyataan An-Nisa' : 59 ini dan Allah seharusnya memanggil "Wahai orang-orang yang beriman" atau أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا itu tidak tepat, karena setiap individu nantinya akan menjadi Ulil Amr. Dan itu mustahil, karena Ulil Amr sebagaimana pada penjelasan sebelumnya di atas, Ulil Amr ini ditentukan oleh Allah sehingga ia sempurna memiliki kesamaan (satu dalam kesatuan) dengan Rasul. Karena Rasul pun ditentukan oleh Allah.
  11. Perintah ta'at kepada Allah itu memang bersifat mutlak, begitu juga perintah ta'at kepada Rasul dan Ulil Amr ini bersifat mutlak pula. Dan perintah ta'at secara mutlak ini akan mengharuskan kema'shuman orang yang dita'ati oleh orang beriman, dan itu pun juga secara muthlak harus ma'shum Ulil Amr ini.
  12. Ulil Amr adalah orang yang memiliki ma'rifat kepada Allah yang paling tinggi setelah Rasul, karena tugas Ulil Amr adalah mengantarkan orang-orang yang telah beriman ini menuju ma'rifat Allah.
  13. Dalam ayat An-Nisa' : 59 ini, pada kata أَطيعُوا tidak diulang lagi pada Ulil Amr sebagaimana pada Rasul dan Allah, yakni sebagaimana kalimat berikut أَطيعُوا اللهَ وَ أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ. Ini menjelaskan adanya kesamaan (sinkhiyyat) antara Ulil Amr dan Rasul, sehingga ta'at kepada Rasul ini sama dengan ta'at pula kepada Ulil Amr, sehingga kalimatnya hanya أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ. Karena kata أَطيعُوا ini hanya ada pada Allah dan Rasul, karena untuk membedakan keta'atan dari sisi dzat. Allah adalah Pencipta, sedangkan Rasul dan Ulil Amr adalah yang dicipta.
  14. Sebagaimana jika orang itu tidak-ta’at kepada Ulil Amr, maka akan sama dengan orang tersebut tidak-ta’at kepada Rasul. Sehingga, orang tersebut juga tidak-ta'at kepada Allah.
  15. Adanya kata مِنْكُمْ atau "dari kalian (kalian orang-orang yang beriman)" ini menjelaskan bahwa Ulil Amr ini dalam setiap zaman harus wajib ada.
  16. Sedangkan Ulil amr adalah orang yang paling mengetahui hukum-hukum Allah karena dia adalah pembawa misi risalah Allah setelah Rasul-Nya. Karena Ulil Amr itu wajib satu kesatuan ma'rifatnya dengan Rasul-Nya.
  17. Yang membedakan antara Ulil Amr dan Rasul adalah : Rasulullah adalah orang yang meletakkan kebenaran pertama dan Ulil Amr adalah pelanjutnya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
(*) : Terdapat dalam QS. At-Taubah : 9, yang berbunyi : يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ كُونُوا مَعَ الصَّادِقينَ. Yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan bersamalah dengan orang-orang Shadiqin
(**) : Terdapat dalam QS. An-Nisa' : 136, yang berbunyi : يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللهِ وَ رَسُولِهِ وَ الْكِتابِ . Yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman, teruslah beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan Kitab
(***) : Terdapat pada QS. An-Nisa' : 59, yang berbunyi : يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَطيعُوا اللهَ وَ أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ. Yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman ta'atlah kepada Allah, Rasul-Nya, dan Ulil Amr

Referensi :
1. Kitab "Angin Wilayah" Thaba'thaba'i (sekaligus diterjemahkan dari bahasa persia ke dalam bahasa Indonesia)
2. Analisa Penulis

Selengkapnya...