Maaf, area blog ini tidak dapat di Klik Kanan. Terimakasih Telah Berkunjung di PUSTAKA-ALI. By Ali Morteza Pustaka - Ali: Oktober 2011
. . . SELAMAT DATANG DI BLOG Pustaka - Ali” . . . . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . .

Sabtu, 29 Oktober 2011

Download Aplikasi Kamus2 Buatan Indonesia

Friend2 gimana kabar na nih ?
AnE kali ini ingin sedikit berbagi sebuah aplikasi nih, kalian kan berbangsa Indonesia (bagi yang berbangsa Indonesia loh yaaaa...). Mmmmm . . .
Nih aNe punya aplikasi kamus2 buatan Indonesia nih, silahkan unduh aplikasinya gratis, klik di sini Kamus2 Buatan Indonesia[1], Kamus2 Buatan Indonesia[2], Kamus2 Buatan Indonesia[3], Pronuntciation, English Phrases

Selamat Menikmati Friends
Jangan Lupa Komment

Sumber : KursusInggrisGratis.BlogSpot.Com
Selengkapnya...

The Tips and Trick For learning English Lenguage be Fastly !!!

Hey friends . . .
Gua dapet info bagus nih . . . .
Diam2 nih, kalian bisa loh jadi superstar yang jago bahasa inggris, kan yang penting tuh, asal tahu trik dan kuncinya . .
hemmmmmmm tinggal makjozzzzz deh jalan terooooooossssss . . . . . .
Mudah bukan belajar bahasa inggris ??
Owps . . sebagian mengatakan sulit dan berdiam diri tidak menjawab pertanyaan . .
Oke deh, kalian2 yang lagi pusing mikirin bagaimana bisa cepat belajar bahasa inggris, klik aja deh di sini, kalian akan dapetin trik dan info agar cepet bisa bahasa inggris, ntar kalau kalian udah pada bisa nih dalam waktu 1 bulan, SaYe haraaaap . . .
kalian tidak lupa yah dengan blog ini...
hehehehehe
Langsung aja deh klik di sini untuk unduh filenya

Sumber : E-Compusoft English Online
Selengkapnya...

Download Game [DS.us]PoC AtWorldsEnd.rar

Game ini awalnya ada di PS2, karena otak-otak manusia zaman sekarang sangat maju, maka begini deh jadinya . . .
Segala apa yang telah tercipta, bisa menjadi ciptaan yang kedua dengan motif berbeda . .
Oia, Game ini seru loh, seperti Pirates tuh yang di PS2
Kalian kalau sering main PS2, asti tau deh Game ini, silahkan klik aja di sini untuk download
Jika dimintai pasword, masukin aja deh paswordnya www.dytoshare.us

Ucapin sama2 yuk kepada Abang dytoshare.us
MAAAAAKAAAAAASSSIIIIIIIHH dytoshare.us

Jangan lupa koment blog ini ya Boz !
Selengkapnya...

Kamis, 27 Oktober 2011

Aplikasi Nge-edit Blog TANPA ONLINE

Halooooo Friends . . . !!!
Bagi kalian yank terlalu terbebani untuk online dulu pas nge-blog, kalian bisa download nih aplikasinya
klik di sini untuk yang format [.exe], klik di sini untuk yank format [.zip], dan klik di sini untuk yank format portable
Okey fRiends Blog COPASUS, selamat mencobanya ya . . .

jangan lupa komment ya Boz !


Sumber : http://wbloggar.com/
Selengkapnya...

SITUS EDIT FOTO LUCU ONLINE

Hemmmm . . .
Okey friends BLOG COPASUS yang setia, kali ini kami akan memberikan alamat2 untuk kalian bisa mengedit foto2 lucu secara online nih.
1. kalian bisa buka alamat ini photofunia.com
Nah, dengan alamat itu, kalian bisa mengedit-edit foto kalian sepuasnya Boz, kalian bisa memberikan bingkai/frame dan segala macem deh, silahkan cobain aja deh !
2. Kalian bisa membuka situs ini untuk kalian bisa merubah wajah2 kalian menjadi wajah tokoh2 yang kalian inginkan Boz. WoooooOOooow . . . seruuuu kan, silahkan masuk ke alamat ini Faceinhole.com
3. Nih yang sangaaaaaaaat2 saYe senangi nih, situs ini kalian bisa buka untuk kalian yang ingin menaruh wajah kalian di uang berbagai negara, woooooow . . . lebih seru lagi kan, kunjungi alamat ini www.festisite.com
Okey, Trims telah berkunjung, selamat mencoba ya Boz !
Jangan lupa komment ya Boz !


Sumber : http://www.idafazz.com/situs-edit-foto-online.php
Selengkapnya...

Download SOFTWARE WADE3D 3.5

Hey Friends sobat Blog COPASUS !!!
sAye dapet info baru nih, lagi-lagi dari Abang dytoshare.us nih infonya, emang baik siih bang dytoshare.us !
Ada software WADE3D 3.5 nih, jika kalian belum tahu, ok lah, ana kasih tahu deh, software ini bisa digunakan bagi kalian untuk eh terbalik, untuk kalian bagi kalian yank bosan dengan dekstop komputer/LAPTOP kalian. Software ini bisa menganimasi kok di dekstop kalian, namanya juga 3D, ya KAN ??
Klik aja deh disini BOZ
Semoga bermanfaat ya Boz !!!!
Jngan lupa Kommentnya, n terutama, ucpan trims kepada Abang baik Dytoshare.us
Selamat mencoba BOZ
Selengkapnya...

Download StartUp 3.3.66

Okey, di sini kalian kembali berjumpa dengan COPASUS blog, kali ini COPASUS blog dapet info baru nih
bagi kalian yang tidak tahu tentang software StartUp Fast 3.3.66 ini, saya beritahu, software ini digunakan untuk mempercepat StartUp, baru aktifin Laptop atau komputer dengan loading cepat.
Di sini COPASUS dapet sumbernya dari abang DYTOSHARE.US
Nah, Bagi kalian yang tertarik dengan software ini, silahkan klik di sini
Okey selamat menikmati dan mencobanya ya . .
Eitttzzz . . .
jika kalian dimintai password, ketik aja deh paswordnya www.dytoshare.us

Trims ya ABANG DYTOSHARE.US !!!
Jangan lupa Komment ya Boz ! Selengkapnya...

Senin, 24 Oktober 2011

Download Aplikasi Kamus Bahasa Arab GRATISSSS !!!!

Ingin mendownload aplikasi ini, silahkan download di sini, dan tunggu hingga download selesai dan di bawah ini adalahcontoh gambar prosessing aplication Kamus ini

Semoga bermanfaat ! Trims telah berkunjung

Sumber : http://akhsa.wordpress.com/2009/02/10/software-islami-kamus-bahasa-arab-v20-new/comment-page-4/#comment-4756 Selengkapnya...

DOWNLOAD Serial Tune Up 2012

Download serial Tune Up 2012 Klik aja deh langsung di siniJika tidak dapat terbuka, maka buka saja dengan password www.dytoshare.us


Sumber : www.dytoshare.us
Selengkapnya...

Minggu, 16 Oktober 2011

Allah dan Tuhan

Oleh: Muhsin Labib

Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk sebuah kekuatan yang maha sempurna dan maha bijaksana dengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa acak atau chaos adalah manusia yang pesimis, nihilis, absurd dan risau akan kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat diprediksi.

Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Kita menyebutnya Tuhan atau Sang Hyang. Dialah Tuhan Maha Sempurna. Kepercayaan pada “yang adikodrati”, merupakan bagian integral dari kehiupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transendental yang disebut “agama” maupun tidak diagamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan.

Tuhan sejak babak pertama peradaban sampai sekarang telah menjadi objek pengimanan dan penolakan. Manusia, sebelum dibagi dalam kelompok agama bahkan sebelum dibagi dalam kelompok monteis dan politeis, telah terbagi dalam dua aliran besar, ateisme dan teisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan) dari a (tidak) dan theos (Tuhan). Ia adalah aliran yang menolak adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam bahasa Arab disebut Al-ilhad.

Kata yang memberikan signifikansi wujud Pencipta dalam al-Qur’an sangat banyak. Semuanya dapat dibagi dalam beberapa dimensi dan konteks:

Pertama, kata yang menunjuk Tuhan dipergunakan sebagai nama umum atau atribut universal.

Kedua, kata yang menunjuk Tuhan digunakan dalam dua bentuk sekaligus, universal dan personal.

Ketiga, kata yang menunjuk Tuhan digunakan sebagai nama umum semata.

Keempat, kata yang mengandung arti kesempurnaan dan kebaikan. (al-asma’ al-hunsa).Kata “Tuhan”, misalnya, yang bila digunakan sebagai nama umum, maka huruf “t” di depannya dikecilkan, dan bila digunakan untuk menunjuk nama khusus, maka huruf “t” di depannya dibesarkan (Tuhan). Demikian pula “God” dalam bahasa Inggris atau “Khoda” dalam bahasa Persia. Karena itu bila ada yang mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan selain Tuhan” bisa ditolerir.

Kelima, kata yang menunjuk “Tuhan” digunakan sebagai nama personal (alam syakhshi) semata. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafdh al-jalalah (nama kebebasaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal (alam syakhshi). Sedangkan al-rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata al-rahman (yang merupakan sifat khusus), tidak bersifat khusus.[1] Itulah sebabnya mengapa kata “rabb”, ilah”, “khaliq” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim” digunakan untuk Nabi, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap orang-orang mukminn” (QS Al-Taubah: 128).

Atas dasar itu, kata “Allah”, baik berupa kata baku (jamid) ataupun kata olahan (musytaq), ditetapkan sebagai sebuah “nama personal”, dan ia tidak mempunyai arti selain Dzat Adikodrati SWT. Namun, tatkala Dzat Kudus tersebut tidak dapat diinderakan, maka untuk mengenali arti “Allah”, mereka menggunakan sebuah simbol yang berkonotasi secara eksklusif pada Allah seperti “Dzat yang menghimpun sifat-sifat kesempurnaan”, bukan berarti kata “Allah” ditetapkan untuk mengartikan rangkaian pengertian-pengertian ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembahasan seputar materi dan bentuk kata ini tidak akan dapat membantu kita untuk memahami artinya sebagai sebuah nama personal (alam syakhshi).

Kata personal Allah karena oleh sebagian besar mfassir dianggap sebagai ism makrifah dengan alif dan lam (kata tertentu), menurut kaidah kesusateraan, kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya”. Karena itulah, bisa dipastikan kalimat “ya Allah” (wahai Allah) tidak terdapat dalam al-Qur’an[2] . Kata “Ya” diganti dengan huruf mim yang di-syaddah-kan dan difathahkan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah “Allahumma”. Kata panggilan khas ini ditemukan 1 kali dalam surah ali-imran ayat 26, 1 kali dalam al-maidah ayat 114, 1 kali dalam al-anfal ayat 32, 1 kali dalam Yunus ayat 10, 1 kali dalam az-zumar ayat 46[3].

Namun kata Allah menurut sebagian ulama bukanlah bentuk makrifah dari ilah. Kata ini dianggap berasal dari bahasa Ibrani yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga yang berarti dzat Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam agama ortodoks Suriah bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, diaykini sebagai kata atau nama personal Tuhan Bapa[4].

Dalam kitab suci al-Qur’an, kata yang juga memberikan signifikansi pada Allah adalah “ilah” dan “rabb”. Kata “ilah” juga digunakan dalam syahadat la ilaha illallah. Kata “ilah” adalah bentuk kata yang mengikuti wazan “fi’al” yang berarti “maf’ul”. Ilah berari “ma’bud” (yang disembah), seperti “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis). Dengan demikian, la ilaha illallah dapat diartikan “tiada yang layak disembah selain Allah” [5]

Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan’ yang berarti “majikan” atau “pemilik”, seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah[6], atau kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek atau nenek. Hanya saja, yang perlu diperjelas apakah “tuhan” menunjuk “Sang pencipta” (al-khaliq) ataukah menunjuk “Yang disembah” (al-ilah, al-ma’bud). Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih dekat dengan al-rab dalam bahasa Arab yang berarti “Maha Pengatur”. Seandainya “tuhan” atau “ilah” berarti “Pencipta” (al-khaliq), maka syahadat la ilaha illallah berarti “tiada pencipta selain Allah”. Tentu syahadat dengan arti seperti ini tidak mengecualikan para kaum Quraisy penyembah berhala dan kaum musyrikin lainnya, yang sejak semula meyakini Allah sebagai pencipta. (QS. Luqman: 25).

Dalam Al-Qur’an kata Allah disebutkan sebanyak 930 kali,[7] Kata ilah (tanpa dhamir) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 80 kali.[8]

Arti ilah dalam rangkaian syahadah (kalimah al-tahlil) bisa berarti al-ma’bud atau yang disembah, dan bisa pula berarti al-ma’bud bil haq[9]. Apabila arti pertama dipilih, maka setiap sesuatu yang dalam kenyataan disembah selain Allah dapat dianggap sebagai ilah. Apabila arti kedua yang dipilih, maka berarti ilah hanya bisa disandang oleh Allah, sebab al-ma’budiyah (ke-tersembah-an) merupakan derivasi dari al-rububiyah.

Kata rabb dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 84 kali. 1 dalam al-fatihah, 1 dalam al-baqarah, 1 dalam al-ma’idah, 4 dalam al-an’am, 6 dalam al-a’raf, 1 dalam al-thaubah, 2 dalam Yunus, 1 dalam al-ra’du, 1 dalam al-isra’, 1 dalam al-kahfi, 1 dalam Maryam, 1 dalam Thaha, 2 dalam al-anbiya’, 3 dalam al-mukminun, 15 dalam al-syu’ara’, 4 dalam al-naml, 1 dalam al-qashas, 1 dalam al-sajdah, 1 dalam saba’, 1 dalam Yasin, 6 dalam al-shafat, 1 dalam shat, 1 dalam al-zumar, 3 dalam ghafir, 1 dalam fusshilat, 3 dalam al-zukhruf, 2 dalam al-dukhan, 3 dalam al-jastiah, 1 dalam al-dzari’at, 1 dalam al-najm, 2 dalam al-rahman, 1 dalam al-waqi’ah, 1 dalaal-hasyr, 1 dalam al-haqah, 1 dalam al-mi’raj, 1 dalam al-muzzammil, 1 dalam al-naba’, 1 dalam al-takwir, 1 dalam al-muthaffifin, 1 dalam Quraisy, 1 dalam al-falaq, 1dalam al-nas[10].

Selain berupa kata personal Allah, Ilah dan rabb, Tuhan juga merupakan entitas penghimpun semua nama-nama terbaik (al-asma al-husna). Kata al-asma al-husna disebutkan 4 kali dalam al-Qur’an, 1 dalam surah al-a’raf ayat 180, 1 dalam al-isra’ ayat 110, 1 dalam Thaha ayat 8, dan 1 dalam al-hasyr ayat 24[11]. Dengan demikian, nama dan sifat yang memberikan signifikansi kebaikan dan kesempurnaan maksimum adalah milik Allah. Karenanya, nama dan sifat manusia berasal dari Allah sebagai Pemilik absolut nama-nama terbaik. Dalam sebuah hadis, Nabi memerintahkan kita untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menekankan tentang posesi atau kepemilikan Tuhan atas semua nama terbaik. (QS. Al-hadid: 4, QS. al-a’raf: 180, Thaha: 8, QS. al-isra’: 110, QS. al-hasyr,: 24).

الله لااله الاهو , له الاسماء الحسنى
ولله الاسماء الحسنى فادعوه بها

Menurut sebagian mufassir mutakhir, tidak ada dalil qath’iy (definitif) tentang ketentuan jumlah al-asma al-husna, meskipun yang populer dalam riwayat disebutkan berjumlah 99[12]. Setiap nama (ism) dalam alam keberadaan adalah sebaik-baik nama (ahsan al-asma). Semuanya adalah milik Allah SWT. Karena itulah, jumlah nama Allah tidaklah terbatas[13]..

Dengan nama-nama terbaik yang banyak dan mencakup spektrum dimensi dan nilai kesempurnaan maksimal itulah, hamba-hamba-Nya berpeluang untuk berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang papa dan dirundung kemiskinan dapat memanggil-Nya dengan nama al-karim, al-raaziq, al-razzaq. Seseorang yang bergelimang dosa dapat memohon ampunannya dengan memanggil-Nya dengan al-ghaffar. Seseorang yang ingin mendapatkan petunjuk dapat menyeru-Nya dengan nama al-haadi dan sebagainya.

Yang patut diketahui ialah bahwa kata asma’ juga dapat diartikan sebagai sifat-sifat, karena ism dalam ilmu sharf mencakup ism al-fa’il dan al-sifat al-musyabbahah. Menurut Thabathabai, al-asma al-husna adalah setiap kata yang menunjukkan arti predikatif seperti ilah, al-hayy dan lainnya. Sedangkan kata Allah, adalah alam syakhshi atau alam-al-dzat, yang merupakan nama personal bagi Tuhan[14].

Kata ism yang dikaitkan (diidhafahkan) dengan Allah dan rabb, berjumlah 18, yaitu 4 dalam surah al-an’am, 1 dalam al-ma’idah, 5 dalam al-haj, 1 dalam al-rahman, 2 di al-waqi’ah, 1, dalam al-hāqah, 1 dalam al-muzzammil, 1 dalam al-insan, 1 dalam Hud, dan 1 dan al-naml. Jika bismillahirrahmanirrahim dianggap sebagai pembuka dan bagian dari setiap surah, kecuali surah al-Bara’ah, maka jumlah keseluruhan ism yang diidhafahkan pada Allah dan Rab berjumlah 131[15].

Al-ism al-a’dham, menurut opini masyarakat Arab, adalah ism lafdhi yang merupakan salah satu dari asma Allah, yang bila diseru dalam doa, maka dikabulkan. Namun, anehya, ia tidak tergolong dalam al-asma al-husna yang populer, dan tidak pula dianggap sebagai bagian dari lafdhul-jalalah. Menurut mereka, al-ism al-a’dham terdiri atas huruf-huruf tak dikenal (huruf majhulah) dengan komposisi yang tak dikenal pula. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kata Allah dalam bimalah itulah yang dimaksud dengan al-ism al-a’dham. [16].

Asma’ Allah atau al-asma al-husna kadang kala dikaitkan dengan sifat-sifat Allah (sifatullah). Menurut Sayyid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik (al-asma al-husna). Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliah yang mengingkari nama “al-Rahman”, selain nama “Allah”[17]. [l3] Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya Hadits dari Ibn Abbas, bahwa di suatu malam nabi beribadat, dan dalam bersujud beliau mengucapkan: “Ya Allah, ya Rahman”. Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Makkah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi dalam sujud itu, ia berkata: “Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua Tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi.” Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi karena kaum Ahl al-Kitab pernah mengatakan kepada beliau, “Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama al-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat.[18]“

Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada Hakikat, Dzat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari, al-Baidlawi dan al-Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama “Dia” dalam kalimat “maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik” dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama “Allah” atau “al-Rahman”, melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat (Esensi) Wujud Yang Maha Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu dzat atau esensi. Jadi, Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama “Allah” dan atau “al-Rahman” serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya “Allah” bernama “al -Rahman” atau “al-Rahim”.

Jadi yang bersifat Maha Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan Dzat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu al-Baidlawi menegaskan bahwa paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid yang benar ialah “Tawhid al-Dzat” bukan “Tawhid al-Ism” (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama)[19].

Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar ini diterangkan dengan jelas sekali oleh Ja’far al-Shadiq, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan Ahl al-Sunnah maupun Syi’ah. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secarabenar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam: “Allah” (kadang-kadang dieja, “Al-Lah”) berasal “ilah” dan “ilah” mengandung makna “ma’luh’, (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?” Hisyam mengatakan lagi, “Tambahilah aku (ilmu)”. Ja’far al-Shadiq menyambung, “Bagi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung ada sembilanpuluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan. Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia…[20]”

Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk kemusyrikan oleh Ja’far al-Shadiq itu, berarti kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang menurut al-Qur’an memang tidakt ergambarkan, dan tidak sebanding dengan apapun. Berkenaan dengan ini, ‘Ali Ibn Abi Thalib ra. mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada kita Dia mengatakan, “Allah” artinya “Yang Disembah” (al-Ma’bud), yang mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya’lahu) dan dicekam (yu’lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang terdinding dari dugaan dan benih pikiran[21].

Dan Muhammad al-Baqir ra. menerangkan, “Allah” maknanya “Yang Disembah” yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya (Mahiyyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyyah). Orang Arab mengatakan “Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut (fazi’a) kepada sesuatu yang ia takuti atau kuatirkan.[]

* Penulis: Alumnus Hauzah Ilmiah Qom, Republik Islam Iran. Kandidat Doktor Filsafat Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini aktif sebagai dosen ICAS-Paramadina Jakarta, Menejer Penerbit AL-HUDA, Direktur Penerbit CITRA, Anggota Dewan Redaksi majalah dwimingguan ADIL.

Rujukan:

[1] M. Fuad Abdul-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadh Al-Qur’an, hal. 62-63, Mu’assasah Al-a’lami li al-mathbu’at, 1991.

[2] Dalam kaidah gramatika Arab, Tidak dibenarkan seseorang memanggil dengan Ya al-alim, misalnya, dengan tidak membuang alif dan lam

[3] Op.cit. Muhammad Fuad Abd. Baqi, Al-mu’jam al-mufahras, 96, Istanbul

[4] Summa Theologica, Ia, q. 2, a. l. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Pustaka Filsafat, hal. 141

[5] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an, vol 1, hal. 26, Jami’ah Mudarrisin, Qom, 1987

[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, hal: 963

[7] yaitu sebanyak 107 dalam al-baqarah, 116 dalam ali-imran, 32 dalam an-nisa’, 38 dalam al-almaidah, 41 dalam al-an’am, 6 dalam al-a’raf, 35 dalam al-anfal, 67 dalan at-taubah, 20 dalam yunus, 5 dalam hud, 28 dalam yusuf, 1 dalam ar-ro’du, 10 dalam ibrahim, 29 dalam an-nakhl, 3 dalam al-isra’, 8 dalam al-kahfi, 2 dalam maryam, 5 dalam thaha, 1 dalam al-anbitya’, 15 dalam al-haj, 4 dalam al-mukminun, 37 dalam an-nur, 4 dalam ar-furqon, 7 dalam an-naml, 9 dalam al-qashas, 13 dalam al-ankabut, 9 dalam ar-rum, 3 dalam lukman, 1 dalam as-sajdah, 34 dalam al-ahzab, 2 dalam as-saba’, 7 dalam fathir, 2 dalam yasin, 4 dalam as-shafat, 1 dalam shat, 24 dalam az-zumar, 18 dalam ghofir, 2 dalam fusshilat, 19 dalam syura, 1 dalam zukhruf, 1 dalam ad-dukhan, 6 dalam al-jastiah, 1 dalam al-ahqaq, 15 dalam muhammad, 21 dalam al-fath, 7 dalam al-hujurat, 1 dalam at-thur, 2 dalam am-najm, 8 dalam al-hadid , 18 dalam al-mujadalah, 9 dalam al-hasyr, 9 dalkam al-mumtahanah, 1 dalam as-shaf, 4v dalam al-jumu’ah, 6 dalam al-munafiqun, 9 dalam at-taghabun, 8 dalam at-thalaq, 8 dalam at-tahrim, 2 dalam al-mulk, 3 dalam nuh, 1 dalam al-jin, 1 dalam al-muzzammil, 3 dalam al-muddasstir, 2 dalam al-insan, 1 dalam al-nazi’at, 1 dalam al-takwir, 1 dalam al-insyiqaq, 2 dalam dalam al-buruj, 1 dalam al-ghatiah, 1 dalam al-tin, 1 dalam al-bayyinah, 1 dalam al-ikhklas[7].

[8] 4 dalam al-baqarah, 5 dalam ali imran, 2 dalam al-nisa’, 2 dalam al-ma’idah, 4 dalam al-an’am, 5 dalam al-a’raf, 2 dalam al-thaubah, 1 dalam Yunus, 4 dalam Hud, 1 dalam al-ra’du, 1 dalam Ibrahim, 3 dalam al-nakhl, 1 dalam al-kahfi, 1 dalam Thaha, 4 dalam al-anbiya’, 1 dalam al-haj, 5 dalam al-mukminun, 6 dalam al-nahl, 6 dalam al-qashas, 1 dalam Fathir, 1 dalam al-shafat, 1 dalam Shat, 1 dalam al-zumar, 4 dalam Ghafir, 1 dalam fusshilat, 2 dalam zukhruf, 1 dalam al-dukhan, 1 dalam Muhammad, 1 dalam al-thur, 2 dalam al-hasyr, 1 dalam al-taghabun, 1 dalam am-muzzamil, 1 dalam al-nas

[9] M. Fuad Abdul-Baqi, Mu’jam Al-mufahras, vol 14, hal. 122, Mu’assasah Al-a’lami li al-mathbu’at, 1991.

[10] Ibid, 362-365

[11] ibid. 459.

[12]Lihat Al-dur al-manstur, al-mustadrak, Sunan Thabarani, Sunan al-Bayhaqi.

[13] Berdasarkan pendapat ini, jumlah asma’ al-husna yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 127, yaitu al-ilah, al-ahad, al-awwal, al-akhir, al-a’la, al-akram, al-a’lam, arham al-rahimin, ahkam al-hakimin, ahsan al-khaliqin, ahl al-taqwa, ahl al-maghfirah, al-tawwab, al-jabbar, al-jami’, al-hakim, al-halim, al-hayy, al-haq, al-hamîd, al-hasîb, al-hafîdh, al-khafi, al-khabir, al-khaliq, al-khallaq, al-khair, khair al-hakimin, khair al-makirin, khair al-raziqin, khair al-fashilin, khair al-fatihin, khair al-ghafirin, khair al-waritsin, kahir al-rahimin, khair al-munzilin, zdu al arsy, zdu al-thaul, zdu al intiqam, dzul al-fazhl al-adhim, dzu al-rahmah, dzul al-quwwah, dzul al-jalal wa al-ikram, dzul al-ma’arij, al-rahman, al-ra’uf, al-rabb, rafi’ al-darajat, al-razzaq, al-raqib, al-sami’, al-salam, sari’ al-hisab, sari’ al-iqab, al-syahid, al-syakir, al-syakur, syadid al-iqab, syadid al-mihal, al-shamad, al-dhahir, al-alim, al-aziz, al-afwu, al-aliy, al-adhim, allam al-ghuyub, alim al-ghyb wa al-syahadah, al-ghaniy, al-ghafur, al-ghalib, ghafir al-dzam, al-ghaffar, faliq al-ishbah, faliq al-habb wa al-nawa, al-fathir, al-fattah, al-qawiy, al-quddus, al-qayyum, al-qahir, al-qahhar, al-qarib, al-qâdir, al-qadîr, qabil al-taub, al-qa’im ala kulli nafs bi ma kasabat, al-kabir, al-karim, al-kafi, al-lathif, al-malik, al-mu’min, al-muhaimin, al-mutakkabir, al-mushawwir, al-majîd, al-mujib, al-mubin, al-mawla, al-muhith, al-muqit, al-muta’al, al-muhyi, al-mutabayyin, al-mutaqaddir, al-musta’an, al-mubdiy, malik al-mulk, al-nashîr, al-nur, al-wahhab, al-wahid, al-walîy, al-wâli, al-wasi’, al-wakil, al-wadud, al-hadiy. Lihat Al-mu’jam Al-mufahras, vol 8, hal. 361-363

[14] Ibid, hal. 124

[15] Fud Abdul-Baqi, Al-mu’jam Al-mufahras, hal. 459, Istanbul.

[16] M.h. Thbathabai, Al-Mizan fi tafsir al-Qur’an,vol. 8, hal. 359, Muassasah Al-alami li al-mathbu’at, Beirut, 1991.

[17] QS. al-Isra’/17:110.

[18] Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, Jil. 5, Juz 15, hal. 73, Dar Al-syuruq, Cairo, 1987.

[19] Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan dalam kitab-kitab tafsir klasik: Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil oleh al-Baidlawi, al-Kasysyaf al-Zamaksyari, Tafsir al-Khazin oleh al-Baghdadi, Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil oleh al-Nasafi, dll.

[20] Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib r.a., menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab].

[21] ibid.
Selengkapnya...

Kawin Paksa’ Wahdatul Wujud dan Teologi Asy

Oleh : Muhsin Labib

Ahmad Sirhindi (1564-1624,) lahir di kota Sirhind di India utara. Ia disebutkan sebagai anak keturunan para ulama dan bangsawan yang dikenal dengan gelar khajeh hingga bersambung dengan khalifah Umar. Ia memproklamirkan dirinya sebagai wali milenium karena bukunya 'al-Maktubat' (semacam diary) ditulis bertepatan dengan pergantian dari abad ke-16 menuju abad ke-17 dan mengumumkan keinginannya untuk membersihkan Islam India dari pengaruh adat kebiasaan India yang pagan. Usaha Maharaja Akbar untuk menciptakan din- i ilahi, sebuah agama elektis yang terdiri dari semua unsur positif dari agama-agama yang ada di wilayah kemaharajaannya yang luas, menimbulkan kemurkaan kaum Muslim ortodoks, sebagaimana tercermin dalam karya sejarah Bada’oni, Muntakhab al-tawarikh. Konsep keagamaan yang diberi nama din ilahi ini adalah konsesi dan langkah akomodatif Sultan demi meredakan konflik umat Islam dan umat Hindu yang berkepanjangan. Namun, dalam kenyataan selanjutnya, upaya ini malah mendeskeditkan umat Islam, ketika Sultan Akbar memproklamasikan gagasannya sebagai agama resmi di Mughal.

Realitas ironis ini menimbulkan reaksi negatif di kalangan fuqaha dan pemuka agama Islam di India. Sirhindi adalah salah satu tokoh Islam yang merasakan kepahitan itu. Ia bahkan sempat mengungkapkan keekcewaannya. Sirhindi menganggap biang keladi dari sinkretisme dan eklektisisme Sultan Akbar dan meluasnya sikap yang mengabaikan syariah dan aqidah adalah adalah konsep Wahdah al-wujud Ibn Arabi dan Syi’isme. Karena itulah Ahmad Sirhindi bertekad melakukan purifikasi. Sufisme ontologis dianggapnya sebagai biang keladi kultus dan sinkretisme. Selain membenci Paganisme, Hinduisme, Kristen dan Yahudi, Sirhindi juga membenci Islam Syiah yang dianut oleh hampir setengah jumlah muslimin di anak benua India.

Pada tahun-tahun awal, sebelum menjadi seorang sufi, Sirhindi menulis suatu karya yang berisi serangan tajam terhadap Syiah. Ia menuduh kaum Syiah sebagai orang kafir yang harus dibunuh. Bahkan karena sikapnya yang sangat tidak toleran terhadap selain mazhab sunni apalagi terhadap agama selain Islam, ia mendekam di penjara selama satu tahun atas perintah Jahangir, putra Sultan Akbar yang telah wafat, yang semula bersikap baik terhadapnya. Konon perubahan sikap Jihangir itu terjadi setelah ia menikah dengan wanita cantik dari keluarga Syiah. Konon, di kemudian hari setelah berpaling kepada sufisme, dia sikapnya terhadap Syiah kian melunak, dan kemudian mengakui peran Imam Ali dan imam-imam lainnya di antara wali-wali Allah.

Pada masa awal hidupnya, dia juga menjadi asisten Abu al-fadhl, meskipun dia sangat menentang tradisi filsafat Yunani dan agama selain Islam. Pada tahun 1599 atau 1600, dia bergabung dalam tarekat Naqsyabandiyah yang dianggapnya lebih unggul dibanding tarekat lainnya. Sebab, Naqsyabandiyah menolak raqsh (tarian) dan sima’ (mendengarkan musik).

Sirhindi adalah tokoh sufi india yang paling orisinil dan kontroversial. Dia punya beberapa pernyataan dan klaim yang sangat kontroversial dan tidak lazim. Dia menjadi bahan perbincangan di antara kaum modern muslim, sebagimana dikupas secara rinci oleh Johanan Fredmann.

Ketika Ahmad Sirhindi memutuskan untuk mengikuti jalan kesufian dia telah pergi kepada mursyid tarekat Naqsabandiah yang bernama Syekh Muhammad al-Baqi. Ahmad Sirhindi mengaku telah melalui semua peringkat spiritual. Syekh Muhammad mentalkinkan zikir Ilmul Zat, adalah kalimah Allah kepada Ahmad Sirhindi. Mursyid Naqsabandiah itu menjuruskan perhatian spiritual dia kepada Sirhindi sehinggalah Ahmad Sirhindi mengalami kegairahan dan kelazatan yang amat sangat. Klaim-klaim akan supremasi spiritual mististiknya dituankannya pada bagian depan maupun di sela-sela komentar kritisnya atas Wahdah al-wujud dalam Al-maktubat-nya.

Dalam salah satu suratnya, Sirhindi mengungkapkan kronologi pengembaraan spritualnya. Dia mengalami rasa kepiluan yang amat dahsyat sehingga dia menangis dengan bersungguh-sungguh. Setelah satu hari mengamalkan zikir Ismul Zat, ia mengaku telah dikuasai oleh rasa penafian dan kelenyapan diri. Dalam suasana spiritual yang demikian dia menyaksikan samudera yang sangat luas. Dia menyaksikan segala sesuatu sebagai bayang-bayang dalam laut tersebut. Pengalaman demikian menjadi bertambah kuat, mendalam dan cemerlang sehingga memukau jiwanya. Ia mengaku telah mengalami suasana tersebut beberapa lama, kadang-kadang berlarut sampai seperempat hari, kadang-kadang separuh hari dan kadang-kadang sampai satu hari penuh. Ahmad Sirhindi melapokan pengalamannya itu kepada Syekh Muhammad. Gurunya menjelaskan bahwa apa yang telah dialami oleh Ahmad Sirhindi itu merupakan sejenis pengalaman fana dan dia dinasihati supaya menjaga penyingkapan itu.

Sirhindi mengaku meneruskan latihannya. Dua hari kemudian dia mengalami fana yang lebih teratur. Dia meneruskan latihan sebagaimana yang diajarkan oleh mursyidnya. Seterusnya dia mencapai fana dalam fana. Ahmad Sirhindi melaporkan pengalamannya kepada Syekh Muhammad. Mursyidnya itu bertanya apakah Ahmad Sirhindi menyaksikan seluruh alam ini sebagai satu kewujudan ataukah dia mendapati wujud tersebut bersatu dengan Yang Satu. Ahmad Sirhindi mengaku bahwa demikianlah yang dia telah alami. Mursyidnya menjelaskan bahwa fana dalam fana yang sebenarnya adalah walaupun disaksikan penyatuan tetapi seseorang itu masuk ke dalam suasana ketidak-sadaran sehingga fana itu sendiri tidak ada dalam kesadarannya. Ahmad Sirhindi meneruskan latihannya dan pada malam itu dia mengalami suasana fana seperti yang digambarkan oleh mursyidnya. Dia melaporkan pengalaman kepada Syekh Muhammad, termasuk pengalamannya sebelum memasuki fana. Sirhindi mengaku bahwa dirinmya mendapat ilmu secara langsung dari Tuhan. Dia juga mendapati sifat-sifat yang menjadi miliknya adalah juga milik Tuhan. Setelah peringkat tersebut dia maju lagi. Dia menyaksikan satu cahaya yang membungkus segala sesuatu. Cahaya tersebut berwarna hitam. Dia menyangka apa yang dia saksikan itu adalah Tuhan. Mursyidnya menjelaskan apa yang telah dia alami itu adalah menghadap kepada Tuhan di sebalik hijab cahaya. Ia kelihatan karena perkaitan Zat Yang Maha Suci dengan alam kebendaan, tetapi ia mesti dinafikan.

Setelah penafian itu Sirhindi mendapati cahaya hitam yang membungkus segala sesuatu itu mula mengecil sehingga menjadi satu titik yang sangat halus. Mursyidnya menyuruhnya menafikan juga titik hitam yang halus itu supaya dia bisa sampai kepada suasana kehernan. Ahmad Sirhindi mematuhi arahan mursyidnya itu dan titik hitam yang halus itu pun lenyap. Dia dikuasai oleh suasana kebingungan. Dalam suasana kebingungan itulah Ahmad Sirhindi mendapati Tuhan hanya kelihatan kepada Diri-Nya melalui Diri-Nya sendiri. Mursyidnya mengsahkan bahwa apa yang dialami oleh Sirhindi itu adalah suasana kehadiran yang dicari dalam tarekat Naqsabandiah. Ia dinamakan nisbat bagi tarekat Naqsabandiah. Ia juga dipanggil kehadiran Tuhan secara tiada rupa, bentuk, sifat dan lain-lain. Tahap inilah menjadi tujuan pencarian. Maksud nisbat adalah hubungan dengan Tuhan yang tidak putus walau sedetik pun. Nisbat yang jarang terjadi ini, menurut pengakuannya, dikurniakan atas dirinya dalam masa dua bulan beberapa hari setelah dia ditalkinkan oleh Syekh Muhammad.

Setelah melewati tahap nisbat, dia mengaku ada satu lagi bidang fana dikurniakan kepadanya. Menurutnya, fana pada tahap ini adalah fana hakiki. Dalam kefanaan yang demikian dia menyaksikan hati dia menjadi besar, menjadi tersangat besar hingga seluruh alam termasuk al-Kursi dan al-Arasy hanyalah seumpama sebiji sawi jika dibandingkan dengan hatinya. Ia mengaku, setelah melewati peringkat ini, dia menyaksikan dirinya dan segala sesuatu sebagai Tuhan. Kemudian dia melihat segala sesuatu dari alam ini menjadi satu dengan dirinya dan dirinya menjadi satu dengan segala sesuatu. Dia menyaksikan seluruh alam tersembunyi dalam sebiji zarah yang halus.
Selengkapnya...

TEORI-TEORI PENGETAHUAN

TEORI-TEORI PENGETAHUAN

Oleh : Ali Morteza

Skeptisisme

Skeptisisme ini memiliki satu landasan yaitu pikiran manusia tidak dapat mencapai kebenaran objektif. Sehingga skeptisisme ini menyatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang sempurna sebagai dunia objektif, yang mana dunia itu yang merupakan bagian dari yang mengetahui atau empirisnya. Dan pengetahuan itu sendiri, menurut skeptisisme ini meragukan, bahkan skeptisisme ini membatasi pengetahuan, dengan pernyataan bahwa pengetahuan itu hanya sebatas pada data inderawi dan asosiasinya. Sebagaimana Hume mengatakan bahwa pengetahuan dan realitas itu hanya sebatas arus persepsi sehingga pengetahuan dan realitas ini hanya sebagai kesan dan ide-ide saja.

Adapun macam-macam dari Skeptisisme, sebagai berikut :
1. Solipsisme yang berpendapat dengan pernyataannya “saya ada karena saya tidak tahu dunia dibalik diri dan ide-ide saya sendiri” sehingga ini membawa pada kesan egosentrik saja.
2. Skeptisisme Sensori yaitu dari kata Sensasi yang artinya adalah sesuatu yang relatif, karena ia merupakan modifikasi dari yang mengetahui.
3. Skeptisisme rasional yaitu kesimpulan suatu alasan
4. Skeptisisme Metodologis yakni keraguan sistematis tetapi tentatif, sebagaimana Metode Cartesian
Metode Cartesian ini mensyaratkan empat aturan sebagai pedoman dalam proses opini menjadi sains yaitu :
1. Tidak pernah menerima sesuatu sebagai kebenaran kecuali telah jelas dan mutlak.
2. Menganalisis atau mereduksi problem kepada bagian yang dapat dipecahkan kembali.
3. Mengorganisir particular ke dalam pengetahuan general.
4. Mengecek demi kesempurnaan dan kasus negatif.

Namun pernyataan skeptisisme di atas tersebut dapat terbantahkan dengan argumentasi, bahwa skeptisisme meyakini bahwasannya pengetahuan sempurna ataupun dunia objektif itu tidak dapat dicapai, karena landasan Skeptisisme ini adalah dengan meragukan, maka dengan keyakinannya terhadap keraguan dalam pengetahuan yang sempurna ataupun dunia objektif itu, justru sebenarnya adalah meragukan keyakinannya sendiri. Bagaimana ia meyakini bahwa ia ragu untuk mencapai pengetahuan yang sempurna atau dunia objektif ini. Sehingga di sini dapat ditangkap bahwa Skeptisisme ini berpendapat bahwa secara objektif manusia itu tidak dapat mengetahui kebenaran objektif, yakni, ia yakin bahwa ia tidak dapat yakin. Maka inilah kesalahan dalam cara pandang Skeptisisme ini, sebagaimana argumentasi yang telah penulis ungkapkan dalam paragraf ini. Dan juga sebagaimana yang ada pada QS. Yunus [10] : 36, yang berbunyi :
“…padahal sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran…”
Dari ayat tersebut, kita bisa mendapatkan pemberitahuan mengenai persangkaan. Perlu ditekankan bahwasannya persangkaan itu juga keraguan, sebagaimana menyangka-nyangka ataupun menduga-duga. Sehingga Skeptisisme di sini terbantahkan juga oleh ayat tersebut yang menyatakan bahwa meragukan itu tidak akan sedikitpun bisa digunakan untuk mencapai kebenaran. Dan pada ayat yang lain, Tuhan memperjelas sekaligus memberi penekanan terhadap kebenaran ini, dalam QS. An-Nisa’ [4] : 105, yang berbunyi :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antar manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”
Dari ayat di atas, ini menunjukkan bahwasannya kebenaran itu sudah ada dalam Al-Quran sebagaimana pada ayat tersebut di atas, sehingga bagaimana lagi argumentasi dari Skeptisisme ini untuk bisa selalu meragukan segala hal sehingga berpendapat bahwasannya pengetahuan yang sempurna itu tidak dapat dicapai, sedangkan dalam ayat tersebut, Al-Quran ini membawa kebenaran. Ketika kita mengambil metode dari aliran rasionalisme ataupun idealisme (aliran pemikiran yang mementingkan akal), maka akan ada argumentasi bahwa kebenaran itu bisa dicapai dengan pengetahuan yang sempurna, sedangkan Al-Quran ini membawa kebenaran, maka Al-Quran ini berisi penuh dengan pengetahuan yang sempurna.

Sehingga dari sini, teori dari Skeptisisme ini terbantahkan dengan adanya ayat Al-Quran sebagaimana telah disebutkan di atas. Dan juga, jika kita mau meninjau dari landasan Matematik, maka sudah sangat jelas bahwasannya tidak bisa pengetahuan itu tidak sempurna, karena dalam Matematik adalah ilmu yang pasti, sehingga memberikan kesempatan untuk menjawab yaitu hanya terbatas pada dua jawaban saja, salah dan benar, dan ilmu ini semua orang telah menyepakati akan hal itu.

Namun bisa Skeptisisme ini bisa diambil positive thinkingnya juga, karena dalam realitas, bagaimana mungkin kita hidup selalu dalam kepastian tanpa adanya rasa ragu ? maka dari sinilah kita harus bisa membatasi diri untuk bisa hidup dalam keraguan, yang mana dengan adanya keraguan dan penolakan, kita akan mendapatkan kebenaran sebagaiaman ukuran akal dan pengetahuan kita. Sebagaimana dalam ayat yang telah disebutkan di atas QS. Yunus [10] : 36, yang berbunyi :
“…padahal sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran…”
Ini bukanlah sebagaimana kebenaran itu tidak dapat dicapai dengan persangkaan, melainkan kita harus menafsirkan lebih dalam, agar firma Allah ini tidak bertentangan dengan akal sehat manusia, sebagaimana derajat Al-Quran sendiri akan runtuh dari kesempurnaannya dan juga apa-apa yang ada di dalamnya, apabila ternyata kita menemukan ayat yang bertentangan dengan akal sehat. Bukanlah Al-Quran yang salah, namun akal kita lah yang harus mencapai kebenarannya. Sebagaimana dalam QS. Al-Qadr [97] : 1, yang berbunyi :
“Bahwasannya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada waktu malam Qadr”
Jika kita mengambil kebenaran ayat ini dengan akal sehat, maka akan muncul kata “tidak mungkin Al-Quran turun”, pasti akan muncul banyak pertanyaan, salah satunya adalah “Emangnya Al-Quran ada di atas, dan kemudian turun ? ataukah turun itu dari langit ke bumi ? apakah Tuhan ada di langit ? dst.” Maka ini akan bertentangan dengan akal sehat jika kita tidak mampu mencapainya. Kebenaran dalam ayat tersebut adalah, bukan Al-Quran yang turun, tetapi derajat dari hakikat Al-Quran itu sendiri, sehingga Nabi Muhammad mampu memberikan keluasan isi Al-Quran tersebut kepada semua umat. Jika derajat hakikat Al-Quran masihlah tetap menjadi derajat hakikat Al-Quran dalam derajat Tuhan, maka bagaimana umat akan bisa menerima hakikat yang sangat jauh antara hakikat manusia sebagaimana ciptaan dengan Penciptanya ? maka dari sinilah kita bisa mengambil kebenaran Al-Quran yang seukuran dengan akal kita.
Adapun persangkaan yang dimaksud dalam QS. Yunus [10] : 36 adalah suatu persangkaan yang mana timbulnya dari orang yang tidak mau mencari pengetahuannya dahulu sebelum mempersangkakan. Sebagaimana QS. Al-Isra’ [17] : 36, yang berbunyi :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”
Sehingga, carilah pengetahuan tentang hal yang akan kita lakukan, kemudian setelah kita mengetahui, maka persangkakanlah pengetahuan tersebut sebelum berbuat. Maka timbulnya pertanyaan-pertanyaan itu adalah akibat dorongan persangkaan tersebut. Maka dari sini bisa dipetik bahwasannya hubungan antara Al-Quran dengan Skeptisisme ini korespondensi. Dan dari sini dapat dipetik bahwasannya meragukan pengetahuan adalah jalan untuk mencapai kebenaran sehingga perbuatan yang akan dilakukan berdasarkan pengetahuan yang telah diragukan dan kemudian mendapatkan kebenarannya.

Subjektivisme sebagai Idealisme Subjektif

Subjektivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu terbatas, yang mana hanya ada pada ide-ide dalam pikiran orang yang mengetahui saja, sehingga tidak bisa mengetahui apa yang ada dibalik ide-ide orang yang mengetahui tersebut yakni yang berstatus sebagai sesuatu yang objektif ataupun realitas material (tidak bergantung pada siapa yang mengatakan).
Sehingga di sini Subjektivisme merumuskan :
Persepsi dan sesuatu yang diketahui adalah satu (monisme epistemologis),
“yang diketahui” ini hanya ada dalam ide-ide orang yang mengetahui (idealisme epistemologis) saja,
Sehingga diasumsikan bahwasannya dunia ini hanya terdapat pada orang yang mengetahui saja, sehingga menurut Stace,”Jika objek fisik itu ada ketika tidak ada orang yang mengobservasinya, maka kita tidak punya alasan untuk mengatakan bahwa objek tersebut menyebabkan tidak seorangpun dapat mengobservasinya sebagai sesuatu yang tidak dapat dijangkau” Pendapat ini menginterpretasikan bahwasannya sesuatu yang diketahui itu ada dan hanya sebatas ide-ide orang yang mengetahui saja (“tidak ada orang yang mengobservasinya”), maka dari situlah tidak dapat dikatakan bahwa “tidak seorangpun dapat mengobservasinya”, ini terjadi karena memang keterbatasan pengetahuan orang mengenai “objek fisik” tersebut hanya ada pada ide-ide orang yang mengetahui saja. Sedangkan Berkeley mengatakan,”untuk disebut ada berarti merasakan dan dirasakan” Pernyataan Berkeley mengenai “merasakan” dan “dirasakan” yakni dengan argumentasi sebagai berikut :
Persepsi itu tidak ada yang tidak dirasakan
Objek fisik itu persepsi kompleks
Maka, objek fisik itu tidak ada yang tidak dirasakan.

Interpretasi dari Berkeley ini menunjukkan bahwasannya persepsi ini tidak ada yang tidak dapat dirasakan, sedangkan Tuhan di dalam teori Berkeley ini adalah sebagai objek fisik, maka Tuhan tidak dapat dirasakan. Teori ini didukung oleh QS. Ikhlas : 1, yang berbunyi :
“Dia-lah Allah yang Esa”
Maka ayat tersebut menerangkan bahwasannya Allah itu Esa, dan Allah ini yang ada dalam persepsi, sehingga Allah di sini tidak mungkin tidak dapat dirasakan, sedangkan “Dia” itu sendiri adalah Objek Fisik-nya dalam teori ini. Sebagaimana apabila kita memanggil nama kucing, maka sudah berbeda antara “kucing” dengan “bentuk kucing” dalam realitasnya, sehingga teori yang dikemukakan oleh Berkeley ini bisa diterima oleh Al-Quran.

Objektivisme

Objektivisme ini sebagaimana pada paragraf pertama bab “Subjektivisme sebagai Idealisme Subjektif” di atas, Objektivisme ini menganut kepercayaan suatu pernyataan pertama yang mengatakan bahwa objek itu tidak bergantung pada pikiran dan pernyataan yang kedua yaitu objek itu juga tidak bergantung pada segala hal yang berkaitan dengan objek tersebut yang mana objek tersebut ada secara langsung pada ide-ide dalam pikiran orang yang mengetahui melalui perantara data indrawi. Sehingga Objektivisme ini merumuskan bahwasannya sesuatu yang diketahui dan data indrawi itu satu (realisme epistemologis) yang berstatus sebagai persepsi dan sesuatu yang diketahui itu satu (monisme epistemologis) sebagaimana rumusan yang ada pada bab Subjektivisme sebagai Idealisme Subjektif di atas.

Teori ini merupakan teori yang juga dijelaskan dalam Al-Quran yakni mengenai sesuatu yang ada diluar pikiran manusia, sehingga ketika sesuatu itu kita ambil untuk distatuskan sebagai objek, dan sebagaimana dalam kepercayaan Objektivisme ini yaitu objek tidak bergantung kepada pikiran sehingga objek itu independen dan apapun yang terkait dengan objek tersebut juga tidak bergantung pada pikiran sekalipun objek tersebut hadir secara langsung pada orang yang mengetahui (knower) melalui data indrawi. Bahwasannya objek ini adalah independen statusnya, sehingga bukanlah objek sebagaimana yang ada dalam pikiran ataupun orang yang mengetahui saja.
Sebagaimana dalam Al-Quran dijelaskan mengenai hal itu, yakni dalam QS. Ath-Thûr [52] : 35, yang berbunyi :
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri) ?”
Ini menjelaskan bahwasannya ada dua hal yang penting dalam hal ini, yaitu, ada sesuatu yang sebagai Pencipta dan ada yang sebagai yang diciptakan, sesuatu itu kita bisa sebut sebagai objek, sehingga ada dua objek dalam hal ini. Nah, apabila kita melihat bahwasannya objek pertama yakni sebagai Pencipta dan objek kedua adalah sebagai ciptaan. Dari sini terbangun suatu interpretasi bahwasannya Pencipta ini sudah berbeda dengan ciptaan, namun, di sini Pencipta dalam kategori gaib yakni tidak nampak dan sehingga dijadikan sebagai data indrawi, maka dari sinilah kita harus melepaskan status Pencipta yang terus-menerus dipaksakan oleh ciptaan untuk bisa masuk dalam ide-ide yang ada dalam pikiran maupun masuk hanya sebatas data indrawi saja. Maka ini kesalahan, bahwasannya ada yang tidak dapat masuk dalam data indrawi sebagaimana Pencipta yang gaib ini. Sebagaimana dalam teori Objektivisme bahwasannya objek itu independen dan tidak dapat dimasukkan dalam kategori sesuatu yang diketahui dan juga dimasukkan dalam kategori data indrawi. Alasan pertama adalah sesuatu yang diketahui dan data indrawi ini bergantung pada pikiran, sebagaimana sesuatu yang diketahui yang tidak dapat terlepas dengan indrawi sehingga berujung dengan sesuatu yang tidak terlepas dengan pikiran. Sebagaimana berikut :
Sesuatu yang diketahui - - - - - - - dirasakan - - - - - masuk dalam pikiran - - - - menjadi ide-ide yang ada dalam pikiran
Data indrawi - - - - - - - - - - - - - - - dirasakan - - - - - masuk dalam pikiran - - - - menjadi ide-ide yang ada dalam pikiran
Sehingga dari rumus saya di atas yang mana saya buat atas dasar reinterpretasi dari teori Objektivisme ini sebagai penekanan, interpretasi ini menunjukkan bahwasannya data indrawi dan sesuatu yang diketahui ini adalah satu, yang mana keduanya sama-sama terkumpul dalam pikiran. Nah, ini bukanlah Objek Fisik yang dimaksud, bahwasannya teori Objektivisme ini justru memberikan penjelasan kepada kita bahwasannya Objek Fisik ini harus keluar dari pikiran, karena Objek Fisik ini harus independen dan justru ini yang benar sebagaimana dalam QS. Ath-Thur [52] : 35 tersebut.

Realisme Epistemologis
a. Sebagaimana rumus di atas yang saya buat, bahwasannya segala peran (data indrawi dan sesuatu yang diketahui itu masuk dalam pikiran untuk mengetahui.
b. Percaya bahwa pikiran ini mampu mengetahui sesuatu yang independen bukan hanya ¬ide-ide saja.
c. Memiliki kepercayaan bahwasannya berbeda antara yang mengetahui (knower) dan sesuatu yang diketahui ini.
d. Percaya bahwa yang mengetahui (knower) ini berada dalam dunia, dan
e. Mengajarkan bahwa sesuatu yang diketahui itu terus-menerus ada dan tidak berubah ketika ia belum tersingkap (Montague).
f. Walaupun tidak ada orang yang mengobservasi semua benda fisik yang ada, akan tetapi tetap kita tidak akan bisa beralasan bahwa benda-benda itu tidak ada dan tidak dapat disingkap (pendapat Russell)

Bentuk-bentuk Objektivisme (sebagai Realisme Epistemologis)
1. Realisme naif atau pendapat umum menyatakan bahwasannya sesuatu itu dirasakan seperti apa adanya.
2. Neorealisme menyatakan bahwasannya dunia objektif yang dikenal adalah netral; yakni terdiri dari entitas mental dan materi, termasuk hubungan objektif (Moore, Russel, Alexander, Broad, dll). Sebagaimana dalam QS. Ar-Rahman [55] : 6, yang berbunyi :
“Tumbuh-tumbuhan dan pepohonan bersujud kepada-Nya”
Ini menunjukkan bahwasannya dunia objektif yang biasa dikenal dengan netral ini adalah terdiri dari dua unsur. Sebagaimana pada rumus di bawah ini :

Netral = Entitas Mental dan Materi.

Maka rumus ini berhubungan dengan QS. Ar-Rahman [55] : 6 sebagaimana di atas, yaitu tumbuh-tumbuhan dan pepohonan itu bersujud kepada-Nya, ini bukanlah kata-kata yang tidak memiliki arti, ini sungguh sangat memiliki makna yang sangat mendalam. Jika kita melihat pada realitasnya, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan ini tidak mampu bergerak ataupun bersujud, namun bukanlah sujud sebagaimana cara pandang manusia, tumbuhan dan pepohonan ini bersujud juga dari sudut pandang pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, mengapa demikian ? Jika kita mencermati tumbuh-tumbuhan dan pepohonan, maka kita akan mendapati mereka mampu hidup dan terus tumbuh walau hanya terlihat diam. Ini menunjukkan bahwasannnya tumbuhan ini terdiri atas dua, yaitu apa yang tidak dapat diindrakan dan apa yang dapat diindrakan. Maka apa yang tidak dapat diindrakan inilah yang membuatnya tumbuh dan itu juga yang dimaksudkan bersujud, sedangkan apa yang dapat diindrakan ini adalah apa-apa yang memiliki ukuran dari tumbuh-tumbuhan dan pepohonan tersebut, sehingga dapat dikatakan tumbuh dan berubah. Maka yang tidak dapat diindrakan ini adalah entitas mental (dalam teori Neorealisme) dan yang dimaksudkan apa yang dapat diindrakan ini adalah materi (dalam teori Neorealisme). Sehingga yang dimaksud dalam QS. Ar-Rahman [55] : 6 mengenai tumbuh-tumbuhan dan pepohonan itu sujud telah jelas maknanya, sebagaimana yang ada pada teori Neorealisme ini.
3. Neomaterialisme menyatakan bahwasannya dunia objektif yang dikenal adalah bersifat material (Montague, Woodbridge, dll). Pernyataan ini sama halnya dalam QS. An-Nahl [16] : 96 yang berbunyi :
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal”
Maka dari ayat ini menunjukkan bahwasannya ada dua dunia objektif, yakni dunia objektif yang tidak kekal, yakni materi dapat diindrakan dan memiliki ukuran (sebagaimana pada teori Neorealisme di atas ) dan dunia objektif yang tidak dapat diindrakan (data indrawi atau sesuatu yang diketahui sebagaimana pada teori Objektivisme). Namun, kedua dunia objektif tersebut adalah bersifat material sebagaimana pernyataan Neomaterialisme ini. Bahwa hal yang dapat diindra maupun tidak, keduanya tetap akan masuk dalam kategori material. Karena yang dimaksud “apa yang di sisimu akan lenyap” pada ayat tersebut adalah yang dapat diindrakan, dan “apa yang ada di sisi Allah akan kekal” ini yang dimaksudkan adalah akal itu sendiri.
4. Neothomisme menyatakan riil yang independen diketahui melalui pikiran riil yang juga independen (Mascall, Copleston, dll).

Bentuk-bentuk Objektivisme (sebagai Idealisme Epistemologis)
Bagi Idealisme Objektif, dunia objektif itu adalah mental namun bersifat Objektif saja, yakni kebebasan orang yang mengetahui (knower), karena mental adalah milik orang yang mengetahui (knower) saja atau dunia pikiran saja (Hegel, Green, Bradley, Bosanquet, Royce, Blanshard, dll).
Perbedaan antara Idealisme Objektif dengan Idealisme Subjektif ini adalah sebagai berikut :
Idealisme Objektif : Mengajarkan adanya hanya satu pikiran saja secara mutlak (Monisme), di mana pikiran itu terbatas pada orang yang mengetahui saja dan itu adalah manifestasi.
Idealisme Subjektif : Mengajarkan adanya banyak pikiran orang-orang yang mengetahui.

Realisme Kritis atau Representatif
Realisme Kritis atau Representatif (dualisme Epistemologis) menganggap peran kritis berasal dari pikiran dalam memformulasikan pengetahuan. Sehingga di sini dibedakan antara data indrawi dengan objek yang direpresentatifkan (dualisme epistemologis), dan objek atau sesuatu yang diketahui itu lepas dari pikiran maupun orang yang mengetahui (knower). Sehingga pemikiran itu didasarkan pada pikiran atau orang yang mengetahui (knower) saja, melainkan juga data indrawi ataupun ide-ide dari orang yang mengetahui, yakni ide untuk merepresentasikan objek.
 

Dualisme Epistemologis: data indrawi dan sesuatu yang diketahui dibedakan. Objek adalah sesuatu yang diketahui secara langsung melalui data indrawi.

Bentuk-bentuk Realisme Kritis atau Representatif (Dualisme Epistemologis)
• Realisme Representatif yakni suatu ide merepresentasikan atau berkorespondensi (berkesesuaian antara pernyataan dengan objek) dengan objek dari dunia yang independen (yakni dunia yang lepas dari pikiran atau orang yang mengetahui), maka apabila pernyataan dalam Realisme Representatif ini sesuai dengan Objek Independen, maka benarlah pernyataan itu dalam Korespondensi. Kualitas Objektif atau utama dari suatu objek yang melahirkan Kualitas Subjektif atau kedua. Kualitas-kualitas itu meliputi pengetahuan (Democritus, Galileo, Keppler, Descartes, Locke, Macintosh, dll).

Maka, argumentasi Descartes mengatakan Realisme Representatif, sebagai berikut :
a. Tuhan itu ada; yakni bahwa ide secara jelas dan khusus tentang Tuhan mengisyaratkan keberadaanNya seperti halnya bahwa ide segitiga menunjukkan tiga sudut yang dimilikinya. Ini masuk dalam pembahasan Ontologis, yakni teori mengenai masalah ada dan realitas.
b. Tuhan secara definisi adalah sempurna, baik hati;
c. Kebaikan Tuhan tidak akan membiarkan kita tidak memiliki pedoman untuk mengetahui dunia,
d. Pedoman ini adalah nalar, yakni intuisi (meyakini bahwa ada yang di atas akal da indra) dan deduksi;
e. Jika ide itu jelas dan bersifat khusus, maka itu artinya sudah benar;
f. Jika ide itu benar, maka ia menjelaskan apa yang ada;
g. Dunia eksternal yang tidak memiliki apa-apa kecuali kualitas prima adalah dunia yang dapat dianalisis secara matematis dan dapat terpahami secara jelas;
h. Karena itu, dunia eksternal tidak memiliki sesuatu kecuali kualitas prima.

• Realisme Kritis meyakini bahwa Objek Material itu diketahui melalui data indrawi. Pengetahuan tentang benda riil yang independen adalah sesuatu yang niscaya melalui keterlibatan bersama antara orang yang mengetahui (knower) dengan sesuatu yang diketahui dalam essensinya. Benda material diketahui secara langsung oleh keyakinan binatang (Santayana, Lovejoy, dll)

Personalisme

 
Personalisme (Idealisme Personal) merupakan Dualisme Epistemologis yang menggabungkan unsur Objektivisme dan Subjektivisme, Realisme dan Idealisme. “Keadaan yang dialami dengan keadaan yang diyakini”. Objektivisme ini adalah percaya bahwa Objek itu independen, sehingga “keadaan yang dialami” ini Objek Independen, dan Subjektivisme ini meyakini bahwa ide-ide itu terbatas dalam pikiran dan orang yang mengetahuinya saja, sehingga “keadaan yang diyakini” ini adalah ide-ide yang terbatas dalam pikiran dan orang yang mengetahui saja. Begitu juga Realisme ini meyakini bahwa Objek itu dipanca indra, sehingga “keadaan yang dialami” itu adalah Objek yang telah dipanca indra, sedangkan Idealisme meyakini bahwa Objek itu dijangkau oleh akal, sehingga “keadaan yang diyakini” itu adalah Objek yang dijangkau oleh akal.

Neo-Thomisme

Menurut Mascall, Martain, Gilson, Copleston, dll., data indrawi merupakan maksud “yang diserap akal secara langsung bahkan melalui perantara aktivitas, realitas ekstramental yang dapat dipikirkan, yang mana itu merupakan benda yang sesungguhnya” (Mascall)

Referensi :
1. Filsafat Barat
2. Al-Quran
Selengkapnya...

Jumat, 14 Oktober 2011

Teologi Transendental Mulla Sadra

Oleh: Mohammad Adlany

Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak yang tak terlihat (baca: Tuhan).

Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-filosof seperti Al Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran Islam.

Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.

Menempatkan Tuhan sejajar dengan salah satu sebab dan faktor alami sama dengan memposisikan Dia setara dengan komunitas wujud-wujud di alam atau makhluk-Nya; ini berarti bahwa Dia itu bukan Tuhan, bahkan sebagai salah satu makhluk dari makhluk-makhluk-Nya. Ungkapan lain yang senada dengan ini adalah memandang alam ini adalah realitas terbatas yang dibatasi oleh ruang dan waktu dan kemudian menempatkan Tuhan di awal atau di akhir ruang yang membatasi alam ini atau memposisikan-Nya di awal waktu terwujudnya alam. Semuanya ini, merupakan gambaran yang sangat awam tentang Tuhan. Persepsi yang keliru ini menyebabkan perkara-perkara tentang ketuhanan terpaparkan jauh dari hakikat kebenaran dan untuk selamanya kita tak sanggup mencari jalan keluarnya.

Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul serta yang dicerap secara benar oleh filosof-filosof Ilahi; Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.
Perspektif Teologis Mulla Sadra

Mulla Sadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan berbagai argumen-argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya yang terkenal adalah burhan shiddiqin, inti argumen ini adalah menempatkan semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak bergantung kepada Tuhan, semua realitas di alam sebagai hubungan dan kebergantungan kepada-Nya itu sendiri dan sama sekali tak memiliki wujud yang mandiri dan bebas. Dalam hal ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tak bergantung kepada wujud lain.

Burhan shiddiqin yang dibangun oleh Mulla Sadra berpijak pada prinsip-prinsip metafisika yang sangat dalam. Sebenarnya apa yang dibuktikan oleh Mulla Sadra dalam argumen tersebut bukan menegaskan bahwa Tuhan itu berwujud, tetapi menegaskan persepsi yang benar bahwa secara hakiki Tuhan sebagai satu-satunya wujud yang mengadakan segala makhluk dan menghadirkan semua maujud, Dia meliputi segala sesuatu, Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki dan setiap realitas selain-Nya merupakan manifestasi dan tajalli wujud-Nya.

Gambaran Mulla Sadra tentang Tuhan yang sangat dalam ini beserta argumen shiddiqinnya merupakan hasil dari perjalanan panjang peradaban makrifat Ilahi manusia dan evolusi pemikiran filosofis dalam dunia Islam. Puncak kulminasi pemikiran filsafat ini, secara sempurna mempertemukan tiga unsur, yakni wahyu sebagai teks suci Tuhan, pemikiran filsafat, dan teologi (ilmu kalam).

Dalam mazhab pemikiran Mulla Sadra, wujud makhluk, jika dibandingkan dengan wujud Tuhan bukanlah wujud yang hakiki. Makhluk disebut sebagai bayangan, citra dan manifestasi. Makhluk ini secara hakiki tak menampakkan dirinya sendiri tapi menampakkan Tuhan. Makhluk adalah citra Tuhan, bayangan Tuhan dan manifestasi Tuhan. Makhluk bukanlah sesuatu wujud mandiri dimana dengan perantaraannya Tuhan tercitrai dan terbayangkan, tetapi dia adalah citra dan tajalli Tuhan itu sendiri.

Dalam aliran filsafat, secara umum dikatakan bahwa wujud terbagi atas dua yaitu wujud Tuhan dan wujud makhluk, dengan perbedaan bahwa wujud Tuhan meniscaya dengan sendirinya (swa-wujud), tak terbatas, azali dan abadi, dan sementara wujud makhluk bergantung kepada-Nya, terbatas dan baru tercipta (hadits). Cara penjabaran seperti ini, juga digunakan oleh Mulla Sadra di awal pembahasannya tentang wujud, tapi secara perlahan-lahan dan sistimatis - setelah kajiannya tentang prinsip kausalitas, wujud hubungan, kebergantungan hakiki wujud kuiditas dan kehakikian wujud – dia kemudian mewarnai kajian-kajian filosofisnya dengan warna yang berbeda dari filsafat umum dan mengubah pandangannya secara ekstrim tentang hubungan Tuhan dan selain-Nya.

Konstruksi argumen Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan konstruksi yang dibangun oleh Ibnu Sina Dan Al-Farabi. Dalam pemikiran Al-Farabi, wujud "awal" dan "esa" adalah Wâjib al-Wujud. Oleh karena itu, Dia tak membutuhkan yang lain dalam perwujudan dan keabadian-Nya. Dia adalah Sebab Pertama untuk semua realitas wujud, Dia sempurna, tak bergantung, abadi, bukan materi dan tak mengalami perubahan. Tuhan juga secara esensial memiliki ilmu dan mengetahui segala realitas yang terjadi di alam. Tak satupun yang menyamai dan menyerupai-Nya.

Al-Farabi untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat, membagi secara rasional wujud-wujud kontingen ke dalam dua bagian yaitu wujud dan kuiditas, dan kuiditas itu dibagi lagi menjadi sepuluh kategori dari substansi dan aksiden. Pembagian ini, berefek pada terpecahkannya banyak masalah yang prinsipil dalam filsafat Islam, dan karya ini kita tidak saksikan dalam filsafat Yunani. Pengaruh universal dari pemikiran Al-Farabi tersebut adalah munculnya pengertian baru dalam konsep hakikat dan hubungan sebab-akibat. Sebagaimana Al-Farabi berkata, "hakikat adalah Tuhan", dan makna lain tentang wujud dalam tulisan-tulisannya berpijak pada makna tersebut. Ketika dia menyatakan bahwa "hakikat" itu adalah kesesuaian ilmu dengan " realitas sesuatu", maka pandangannya adalah bahwa segala realitas yang berwujud di alam secara hakiki hadir dalam ilmu Tuhan dan apa yang ada di sisi Tuhan termanifestasikan dalam batasan-batasannya.Tuhan yang diyakini Al-Farabi sebagai seorang muslim sama dengan Tuhan digambarankannya sebagai seorang filosof, Tuhan sebagai "Sebab Tertinggi" untuk semua realitas eksistensi, "Sebab" seperti itu sama dengan konsep "Tunggal"nya Plato atau "Akal Ilahi"nya Aristoteles. Selain itu, dia juga menganggap Tuhan sebagai Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas. Dalam hal ini, pandangan dia tak sama dengan Plato dan Aristoteles, karena Plato berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu berdasarkan "alam ide" ('âlam mutsul)(1), dan berlainan pula dengan Aristoteles yang memperkenalkan Tuhan sebagai "Tujuan Akhir" alam dan segala realitas wujud. Dalam pandangan Plato, Tuhan tidak mewujudkan makhluk dari "alam ketiadaan". Aristoteles beranggapan bahwa Tuhan bukan Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas.

Kaum muslimin secara umum mempersepsikan Tuhan sebagai: "Sesuatu yang mencipta alam ini", mereka memperkenalkan Tuhan sebagai Pencipta dan terkadang juga sebagai Pengatur dan Yang disembah. Filosof Islam, dengan memperhatikan fenomena lahirnya persepsi tentang Tuhan yang bersumber dari perbuatan-Nya dan realitas prilaku makhluk-Nya yang terjadi di tengah masyarakat teisme, berusaha mengaplikasikan satu istilah yang terbias langsung dari wujud suci Tuhan dan mewakili persepsi secara universal tentang-Nya, istilah ini tanpa mesti berasal dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan makhluk-Nya, istilah yang digunakan para filosof tersebut adalah Wâjib al-Wujud (baca: Tuhan) yang berarti bahwa sesuatu yang niscaya berwujud dan mustahil tiada. Dari sini, menjadi jelaslah bahwa Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Tuhan para Nabi dan Rasul secara aktual, tetapi Tuhan mereka bukanlah Tuhan yang hanya sebagai Pencipta, Tuhan mereka adalah Tuhan yang jika berkehendak Dia bisa mencipta, Tuhan dengan kriteria seperti ini meniscayakan Maha Kaya, sempurna, tak terbatas dan tak bergantung kepada yang lain.

Al-Farabi dan Ibnu Sina yang merumuskan perbedaan metafisik antara kuiditas dan wujud ke dalam filsafat Islam, menjadikan filsafat ini berbeda secara mendasar dengan kontruksi filsafat Aristoteles. Al-Farabi menegaskan bahwa "keberwujudan" merupakan keniscayaan dari hakikat wujud dan kuiditas sebagai sesuatu yang "tercipta" tak memiliki wujud hakiki dan hanya sebagai bayangan wujud. Persepsi kuiditas - yang bersifat universal itu dan bisa terterapkan pada individu-individu yang berbeda – mustahil terwujud dan mengaktual secara hakiki.

Oleh karena itu, tolok ukur "keberwujudan" mustahil didapatkan dari kuiditas-kuiditas yang digandengkan bersama, bahkan kuiditas yang nampak di alam luar tersebut secara esensial mustahil terterapkan pada individu yang lain, satu kuiditas secara esensial hanya terterapkan bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, hanya wujud yang secara esensial terwujud (tercipta) dan setiap kuiditas partikular yang tercipta itu karena "berpijak" kepada wujud. Tanpa "keberpijakan" ini kuiditas mustahil tercipta.

Gagasan besar Al-Farabi ini tercatat dalam sejarah filsafat karena secara prinsipil mengubah substansi kajian-kajian filsafat dan cara pandang kaum filosof. Sebelum lahirnya gagasan ini, kajian filsafat dalam mengenal hakikat realitas wujud didasarkan pada pengenalan kuiditas, kuiditas sebagai tema sentral dan penting dalam observasi filsafat. Sekarang ini, para filosof menjadikan wujud sebagai prinsip dasar dalam menggali dan mengenal hakikat realitas. Semua pengkajian filsafat diawali pembahasan wujud dan ontologi.

Berdasarkan gagasan tersebut, jelaslah bahwa terdapat perbedaan yang substansial antara filsafat Aristoteles dengan filsafat Islam, karena alam dalam pemikiran Aristoteles bersifat abadi dan azali, Tuhan tidak menciptakan alam kita ini. Alam dalam ide-nya adalah suatu alam yang berwujud secara aktual dan mustahil menjadi tiada.

Argumentasi Al-Farabi dalam menegaskan wujud Tuhan dikatakan argumen imkan dan wujud, burhan ini berpijak pada perbedaan antara Wajibul Wujud dan wujud kontingen (mumkinul wujud, makhluk). Dalam argumen tersebut, secara mendasar dan hakiki mengakui adanya realitas wujud-wujud kontingen dan kemudian, berdasarkan watak kebergantungan wujud-wujud kontingen secara esensial, maka terbuktilah "Wajibul Wujud" atau Wâjib al-Wujud. Lebih lanjut dia berkata bahwa segala sesuatu yang berpisah antara wujud dan kuiditasnya, maka dia mustahil menjadi wujud yang mandiri, karenanya dia pasti memperoleh wujudnya dari yang lain, mata rantai "pemberi wujud" ini harus berujung pada "Pemberi Wujud" yang hakiki dimana wujud-Nya menyatu dengan "kuiditas" dan tak ada lagi pemisahan antara keduanya. Kuiditas adalah wujud-Nya sendiri. Argumentasi Al-Farabi tentang penegasan eksistensi Tuhan, disamping menegaskan keniscayaan dan keaktualitasan murni wujud Tuhan juga membuktikan bahwa Tuhan sebagai Sebab Hakiki perwujudan semua makhluk dari "alam ketiadaan" atau hadits(2) (lawan dari qadim, azali).

Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari argumentasi Al-Farabi di atas adalah alam, dalam semua realitas wujudnya, secara esensial bergantung kepada Tuhan dan jika Tuhan sedetik saja tak "memancarkan" wujud kepadanya maka alam niscaya tiada. Jadi, wujud kontingen "sebelum" dan "sesudah" penciptaan secara mutlak butuh kepada Tuhan. Alam ini dalam huduts dan "keabadian" wujudnya bergantung kepada Tuhan.

Ibnu Sina menyebut salah satu argumennya dengan nama burhan shiddiqin, ini secara terperinci dimuat dalam kitabnya yang bernama al-Isyarat wa al- Tanbihat(3). Penamaan argumen ini dengan nama shiddiqin karena berlatar pada keagungan dan kekuatannya dalam penegasan dan pembuktian wujud Tuhan. Ibnu Sina, dalam argumentasinya, berusaha memaparkan secara rasional penegasan wujud Tuhan tanpa menggunakan perantaraan wujud kontingen dan makhluk. Oleh karena itu, dia mengagungkan burhan ini atas argumen lainnya. Bentuk penguraian filosofis yang dilakukannya itu, tak dilakukan oleh para filosof sebelumnya. Dia pantas bangga dan terharu atas anugrah Tuhan padanya. Burhan ini, diterima oleh banyak filosof dan teolog setelahnya, dan mereka bahkan menjabarkan burhan tersebut dalam tulisan-tulisan mereka dan terkadang hanya mencukupkan argumen itu dalam pembuktian wujud-Nya. Ini juga merupakan bukti nyata keagungan dan kekuatan burhan tersebut.

Setelah Ibnu Sina, burhan tersebut muncul dalam bentuk yang beraneka ragam dan dalam mazhab filsafat Mulla Sadra, dengan perantaraan filosof Mulla Hadi Sabzewari hingga Allamah Thabathabai, burhan ini termanifestasikan dalam suatu konstruksi yang semakin efektif dan efisien dalam penegasan eksistensi Tuhan.

Tak ada keraguan bahwa burhan shiddiqin ini bukan merupakan warisan dari filsafat Yunani, dia sebagai karya otentik filosof muslim dan sekaligus kebanggaan bersejarah dari evolusi rasionalitas filsafat Islam. Tak bisa dibayangkan, kalau filosof seperti Plato dan Aristoteles memiliki gagasan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri lantas mengkonstruksi bentuk burhan seperti itu. Berbeda dengan filosof agung Ibnu Sina yang menggagas bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri dan mustahil realitas selain-Nya memiliki esensi tersebut. Burhan ini secara langsung, tanpa perantara realitas selain-Nya, menegaskan wujud Tuhan, ini tidak sebagaimana kaum teolog membuktikan Tuhan dari sisi ke-huduts-an makhluk dan juga tidak seperti Aristoteles menetapkan Tuhan dari dimensi gerak alam.

Burhan shiddiqin versi Ibnu Sina ini, berpijak pada prinsip kehakikian realitas wujud yang merupakan lawan dari penolakan mutlak atas kehakikian eksistensi. Setelah kita yakin pada kehakikian wujud eksternal, maka kita lanjut pada pembagian logis bahwa eksistensi eksternal itu hanya terbagi ke dalam dua bagian yaitu Wajibul Wujud atau wujud kontingen, kemudian kita letakkan kebutuhan esensial wujud kontingen kepada sebab pengada itu sebagai alur utama argumen, dengan bersandar pada kemustahilan daur dan tasalsul, disimpulkan bahwa wujud kontingen mutlak bergantung pada Wajibul Wujud. Yang harus diperhatikan dalam burhan tersebut adalah tak ada keharusan menerima realitas wujud kontingen, karena kalaupun wujud kontingen itu tiada maka yang ada "alam luar" niscaya Wajibul Wujud, jadi jangan dipahami bahwa wujud kontingen itu sebagai perantara dalam argumentasi tersebut. Karena yang bisa kita saksikan di luar adalah wujud kontingen, maka burhan berawal darinya, tapi kalau kita bisa "saksikan" secara langsung dan hudhuri maka wujud Tuhan otomatis terbukti dengan sendirinya. Dia adalah swa-bukti sebagaimana Dia juga swa-ada.

Ibnu Sina, dalam pasal keempat kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat setelah menjelaskan burhan ini dalam menegaskan wujud Tuhan dan burhan-burhan lain yang bersandar pada silogisme burhan tersebut dalam membuktikan keesaan dan sifat-sifat Tuhan, berkata, "Saksikanlah bagaimana argumen kami tentang penegasan Wujud Pertama dan ketunggalan-Nya yang tak membutuhkan selain wujud itu sendiri dan bagaimana penjabaran kami tak lagi berpijak pada perbuatan-Nya dan makhluk. Walaupun semuanya itu adalah dalil atas keberadaan-Nya, tetapi metode tersebut (baca: burhan shiddiqin) lebih kuat dan lebih sempurna karena pijakannya pada realitas wujud itu sendiri, kesimpulannya adalah kesaksian atas Wajibul Wujud dan kesaksian bahwa wujud-Nya terletak sebelum realitas wujud-wujud lainnya. Kandungan burhan tersebut sesuai dengan ayat al-Quran yang berbunyi, "Segera akan tampak tanda-tanda kami di alam dan jiwa-jiwa mereka hingga menjadi jelaslah kebenaran bagi mereka". Saya berkata, "kandungan ayat ini untuk kaum tertentu". Dan setelah itu Tuhan berfirman, "Apakah tak cukup dengan Tuhanmu bahwa sesungguhnya Dia saksi atas segala sesuatu". Saya berkata, "kandungan ayat ini untuk shiddiqin dimana mereka menjadikan wujud Tuhan itu sendiri sebagai saksi atas-Nya dan bukan segala realitas wujud bersaksi atas wujud Tuhan, Dialah saksi atas segala realitas bukan sebaliknya."

Nampak dalam argumentasi Ibnu Sina di atas bahwa burhan tersebut mengantarkan kita pada satu kesimpulan yang pasti tentang eksistensi Tuhan tanpa menggunakan makhluk sebagai perantara dan murni menggunakan perhitungan rasionalitas dalam penegasan-Nya. Negasi wujud Tuhan merupakan hal yang tak terbayangkan, karena Ibnu Sina dan sebagaian filosof muslim berpandangan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri. Kaum ateis yang tak mampu secara rasional menegaskan wujud Tuhan pada akhirnya hanya berpikir tentang kemungkinan ketiadaan-Nya dan menolak eksistensi-Nya.

Dengan burhan tersebut, Ibnu Sina membuka bab baru tentang pembuktian wujud Tuhan dalam filsafat Islam dan sekaligus membuka peluang munculnya teori yang mendasar dalam pembahasan tentang Tuhan dalam teologi Kristen setelah Thomas Aquinas. Ibnu Sina dalam burhan tersebut menggunakan satu cara yang disebut dengan "kemestian rasionalitas" menetapkan wujud Tuhan dan juga tentang ilmu Tuhan yang mendahului dan meliputi segala realitas, burhan itu juga menegaskan bahwa semua realitas alam secara esensial bersifat mungkin berwujud dan karena wujud Tuhan dia bersifat mesti berwujud.

Dari sudut pandang metafisika, gagasan inti Ibnu Sina itu adalah mencoba menyempurnakan pendapat Aristoteles yang mendasarkan bahwa setiap realitas wujud terbentuk dari dua bagian yaitu materi (al-mâdda) dan forma (al-shurah). Ibnu Sina yakin bahwa mustahil terwujudnya realitas luar hanya didasarkan oleh salah satu dari materi dan forma. Dalam kitabnya al-Syifa(4) dia juga menganalisa hubungan antara materi dan forma, yang akhirnya berkesimpulan bahwa materi dan forma berhubungan dan bergantung kepada akal fa'âl (active intellect)(5).

Lebih lanjut dia berkata bahwa wujud gabungan (composite existence) tak terwujud hanya dengan perantaraan materi dan forma, tetapi harus dipengaruhi juga oleh "sesuatu yang lain". Dia berkata, "Segala sesuatu yang tunggal (tak bercampur) berwujud, maka wujudnya terambil dari sesuatu yang lain dan secara esensial "meminta" ketiadaan. Bukan Cuma wujud tunggal itu, yang hanya materi atau hanya forma, yang "meminta" ketiadaan, tetapi keseluruhan wujud sesuatu (yaitu gabungan materi dan forma)". Walaupun di beberapa tempat Ibnu Sina membahas bahwa materi sebagai "sumber" kejamakan forma atau kuiditas, tetapi dia tak menyatakan bahwa materi dan forma merupakan sumber terwujudnya sebuah realitas eksternal. Dalam pandangannya, Tuhan merupakan satu-satunya sumber lahirnya segala realitas wujud di alam.

Rumusan burhan dan argumen Mulla Sadra dalam penegasan wujud Tuhan berbeda dengan burhan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Mulla Sadra juga mengkritik burhan milik Ibnu Sina dan menganggapnya bahwa burhan tersebut tak tergolong sebagai burhan shiddiqin(6). Menurut Mulla Sadra, walaupun dalam burhan tersebut tak meletakkan wujud makhluk sebagai perantara, tetapi sebagaimana para teolog dan ilmuwan alam, menggunakan kebergantungan (al-imkan) yang merupakan watak asli kuiditas sebagai perantara dalam burhan tersebut.

Mulla Sadra yang berbeda dengan Ibnu Sina, ketika mengkaji perbedaan antara Tuhan dan realitas alam dan kemudian menyebut Tuhan sebagai Wajibul Wujud (necessary existence) dan selain-Nya sebagai wujud mumkin (contingent existence), maksud dari "Wajibul Wujud" adalah wujud murni atau tak berangkap (bercampur) dimana memiliki intensitas wujud yang tak terbatas, dan maksud dari wujud mumkin adalah "wujud" hubungan atau bergantung dimana dalam "perwujudan" dan kesempurnaan "wujud"nya bergantung secara mutlak kepada Wajibul Wujud(7).

Mulla Sadra, dalam burhannya, pertama-tama menegaskan hakikat wujud (baca: Wajibul Wujud) dan setelah itu, membuktikan wujud kontingen. Dengan demikian Wajibul Wujud sebagai perantara untuk membuktikan wujud kontingen, dalam pandangannya wujud kontingen itu bukan wujud kedua setelah Wajibul Wujud tapi merupakan manifestasi, citra dan tajalli Wajibul Wujud. Jadi, "wujud" kontingen tidak berada dalam satu tingkatan dengan Wajibul Wujud, tapi Dia meliputi "wujud" kontingen secara hakiki.

Dalam burhan shiddiqin Mulla Sadra hanya berbicara tentang wujud hakiki dan wujud eksternal, dan perbedaan antara wujud-wujud eksternal tersebut pada dataran intensitasnya yang bersifat berjenjang dan bertingkat; sementara dalam burhannya Ibnu Sina berangkat dari persepsi wujud dimana wujud dibagi atas dua bagian yaitu Wajibul Wujud dan wujud kontingen, wujud kontingen terbentuk dari wujud dan kuiditas sementara Wajibul Wujud adalah murni wujud dan suci dari kuiditas.

Secara umum, diantara para filosof muslim dalam penegasan wujud Tuhan, terdapat dua aliran pemikiran:
Pertama, aliran pemikiran semisal Ibnu Sina;

Kedua, aliran pemikiran seperti Mulla Sadra.

Aliran pemikiran Ibnu sina, langkah pertama burhan mereka adalah membagi dua wujud eksternal tersebut menjadi Wajibul Wujud dan wujud kontingen, dan langkah kedua argumen ini adalah menetapkan bahwa wujud kontingen mustahil terwujud, dengan berpijak pada kemustahilan daur dan tasalsul, tanpa Wajibul Wujud.

Dalam aliran pemikiran Mulla Sadra, sistimatika burhannya pertama-tama dimulai dari penegasan tentang realitas wujud eksternal dan pengkajian atas kehakikian kuiditas atau wujud. Dia mengecam kaum yang ragu atas realitas eksistensi, langkah yang dilakukan oleh filosof eksistensialis ini yang kemudian membedakannya dengan kelompok Sophis. Dalam pahamannya, realitas wujud eksternal itu hanya satu yang hakiki dan lainnya bersifat majasi.

Langkah berikutnya, dia menegaskan bahwa yang hakiki itu adalah wujud dan kuiditas bersifat majasi. Langkah ketiga adalah menetapkan bahwa hakikat wujud hanya satu dan tak lebih, kejamakan dan pluralitas hanya terpancar pada dataran manifestasi wujud. Langkah keempat, hakikat wujud yang bersifat hakiki dan tunggal adalah Wajibul Wujud dan bukan milik "wujud" kontingen; karena kalau milik "wujud" kontingen maka dia harus bergantung kepada selainnya, sementara tiada yang lain selain hakikat wujud dimana hakikat wujud itu bergantung kepadanya. Dengan demikian, hakikat wujud identik dan setara dengan Wajibul Wujud yang mustahil meniada. Di sisi lain, kita melihat bahwa realitas alam senantiasa mengalami perubahan dan akan punah, maka dari itu kita menghukumi bahwa realitas alam ini bukan hakikat wujud, tapi bayangan dan citra wujud.

Mulla Sadra dalam kitab Masyâ'ir juga meletakkan hakikat wujud tersebut sebagai inti argumentasinya dan bukan persepsi wujud. Dalam uraiannya dia berkata, "Tuhan memiliki intensitas wujud tak terbatas dan keterbatasan itu adalah kemestian dari manifestasi-Nya"(8). Dari alur pemikiran ini, terlontar pertanyaan bahwa kenapa Wajibul Wujud senantiasa menjadi Wajibul Wujud dan mengapa Sebab Pertama terus menjadi Sebab Pertama, jawabannya adalah karena hakikat wujud itu merupakan satu-satunya hakikat untuk realitas alam, hakikat wujud secara esensial adalah ketakbergantungan kepada yang lain, keniscayaan itu sendiri, awal dan akhir itu sendiri, dan sebab dan sumber segala keberadaan.

Jadi, pertanyaan tentang-Nya yang zat-Nya merupakan Sebab Pertama itu sendiri, sama sekali tak berdasar. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran Mulla Sadra, pertanyaan yang muncul dalam benak kita tak semestinya berbentuk, "kenapa Sebab Pertama terus sebagai Sebab Pertama"? tetapi berbunyi, "kenapa sesuatu yang bukan sebagai sebab pertama adalah akibat dan tak sempurna, dan akibat itu senantiasa terbatas, hadir terbelakang dan bergantung"? Jawabannya,karena kesempurnaan, keaktualan, ketakbergantungan dan ketakterbatasan merupakan konsekuensi dari hakikat wujud tersebut, sedangkan manifestasi dan tajalli konsekuensinya adalah kekurangan, keterbatasan dan kebutuhan, semuanya sifat ini identik dengan ke-akibat-an.

Gagasan Tentang Tuhan

Berdasarkan alur pemikiran di atas, gagasan Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan gagasan ke-Tuhan-an yang dimiliki oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Gagasan mereka atas Tuhan berpijak pada persepsi tentang "keniscayaan wujud" dan menurut mereka juga memperkenalkan Tuhan tak cukup dengan mematok pengertian tentang ke-qadim-an dan tolok ukur ketakbutuhan dan kesempurnaan esensial Tuhan. Dalam pandangan mereka perbedaan antara Wajibul Wujud dan wujud kontingen adalah bahwa wujud kontingen terangkap dan tersusun dari kuiditas dan wujud, sementara Wajibul Wujud merupakan wujud murni dan tak tersusun dari kuiditas. Karena wujud itu sendiri berada pada tingkatan esensi Tuhan dan bukan bersifat tambahan pada esensi-Nya, maka zat-Nya pada tingkatan tersebut tak terpisah dari wujud sehingga mesti butuh pada wujud tersebut. Mulla Sadra berpendapat bahwa ketakbutuhan dan kesempurnaan esensi Tuhan tak cukup dengan menegaskan ke-qadim-an dan kemanunggalan esensi Tuhan dan wujud. Dalam pandangannya, teori bahwa Tuhan yang merupakan wujud murni dan basith bukan dalil atas keniscayaan dan ketakbutuhan mutlak Tuhan, teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi(9) merupakan maujud hakiki dan bukan maujud majasi. Syarat keniscayaan suatu wujud adalah kehakikian dan ketakbutuhan kepada sebab. Jadi, pengenalan sempurna tentang esensi Tuhan harus mengikut sertakan kedua syarat keniscayaan tersebut.

Dalam sistem metafisika hikmah muta'aliyah, dengan berpijak pada teori kehakikian wujud dan prinsipalitas wujud (al-ashâlah al-wujud), wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas dan makhluk merupakan sesuatu wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan mustahil menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dia harus bergantug kepada Wujud Mutlak (Tuhan).

Keberadaan hakiki hanya milik Tuhan. Wujud Tuhan tak terbatas dan memiliki kemandirian secara esensi. Kemandirian Tuhan dalam dimensi zat dan sifat-Nya, ini berarti bahwa Dia tak bergantung kepada realitas lain, Dia tak tercipta dari realitas lain dan tak satupun selain-Nya yang dapat membinasakan-Nya. Hanya Tuhan yang berwujud, Maha Kaya, Sempurna dan tak terbatas. Wujud-Nya tak bersyarat dan Dia merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya realitas lain.

Dengan demikian, simplisitas (al-besâthat) memiliki pengertian yang mendalam terhadap wujud Tuhan dimana mustahil menegasikan salah satu kesempurnaan yang mesti dimiliki-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki kesempurnaan dan juga zat-Nya menyatu secara hakiki dengan sifat-Nya.

Perbedaan Tuhan dan makhluk tak dipahami sebagai dua realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah tapi perbedaan keduanya terletak pada kesempurnaan Tuhan dan kekurangan makhluk, kekuatan-Nya dan kelemahannya. Maka dari itu, perbedan antara keduanya bukan perbedaan yang saling berhadap-hadapan tapi perbedaan yang bersifat "mencakupi" dan "meliputi".

Dengan ungkapan lain, segala wujud-wujud selain-Nya merupakan suatu rangkaian gradasi dari menifestasi cahaya zat dan sifat-Nya dan bukan sebagai realitas-realitas yang mandiri dan berpisah secara hakiki dari wujud-Nya. Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas kemajemukan keduanya. Menurut Mulla Sadra, pemahaman tauhid seperti itu adalah tingkatan tertinggi dari tauhid yang dimiliki oleh para monoteis sejati dari kaum urafa dan para filosof muta'aliyah.

Kesatuan Wujud

Kesatuan Tuhan bukan kesatuan yang bersifat bilangan matematis. Gagasan ini merupakan pemikiran cemerlang dari filsafat Islam yang tidak dimiliki oleh mazhab filsafat manapun. Teori cemerlang itu tak lepas dari pengaruh timbal balik antara doktrin-doktrin ajaran suci Islam dan kajian kontemplatif filsafat Islam. Mulla Sadra berpendapat bahwa Tuhan merupakan kesatuan hakiki. Persepsi ini sebagai azas yang paling mendasar dalam hikmah muta'aliyah dan juga dasar pijakan pemikiran filsafat pasca Mulla Sadra.

Gagasan tersebut kita tidak temukan dalam pemikiran filosof Islam sebelum Mulla Sadra seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Para filosof yang memasukkan gagasan tersebut dalam filsafatnya lantas menamakan kesatuan itu sebagai al-hakkah al-hakikiyyah, dan dalam tasawuf (irfan) kesatuan itu disebut al-wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Kesatuan ini berarti bahwa Tuhan merupakan wujud mutlak dan mutlak wujud-Nya.

Kesatuan Tuhan bukanlah bersifat bilangan. Dia adalah Yang Pertama, ini bukan berarti bahwa ada Yang Kedua setelah-Nya. Bilangan merupakan kerakteristik alam materi. Bilangan merupakan "kuantitas terpisah" (kam al-munfashil) dari golongan aksiden, dan aksiden itu termasuk dalam kategori kuiditas (al-mahiyah). Wujud Tuhan, karena tak memiliki kuditas, tak termasuk dalam aksiden atau substansi dimana keduanya merupakan kategori kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan dalam wujud-wujud abstrak (nonmateri) tak termasuk dalam kategori bilangan, karena wujud mereka bersifat substansial. Wujud Tuhan tak terbatas, karena itu tak terbayangkan adanya sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujud Tuhan yang sedemikian tak berhingga itu tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya wujud selain-Nya, karena kalau ada yang kedua setelah-Nya berarti bahwa wujud Tuhan terbatas.

Tuhan dalam konteks di atas mustahil dapat dikenal dengan indera lahiriah, tak bisa diserupakan dengan apapun, mata tak dapat melihat-Nya, pikiran tak dapat meliputi-Nya dan tak bisa dikhayalkan dan digambarkan dalam bentuk apapun, karena kalau bisa diserupakan dan diliputi oleh akal dan pikiran maka berarti wujud-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu yang terbatas mustahil meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari sesuatu yang terbatas adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang tak terbatas. Maka dari itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan hal yang mustahil. Dalam hal ini, Mulla Sadra dalam kitab Asfar berkata, "Para filosof Muta'allihin mengenal Tuhan dan bersaksi atas keberadaannya tapi tak mengenal hakikat-Nya karena kekuatan intensitas pancaran dan cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud kita yang menghalangi penyaksian hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan intensitas pancaran dan cahaya matahari yang menyebabkan mata kita tak mampu menyaksikan secara langsung wujud matahari. Kita tak sanggup menyaksikan hakikat Tuhan karena terhijabi oleh intensitas pancaran dan cahaya-Nya, kita memiliki pengetahuan dan ilmu tentang-Nya tapi bukan bermakna "meliputi" dan "mencakupi" realitas wujud-Nya."(10)
Keazalian dan Keabadian Tuhan

Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud tunggal yang hakiki (wahid hakiki) mesti memiliki dua sifat dasar, yang pertama adalah harus azali. Yang dimaksud dengan azali adalah sesuatu yang tak pernah tiada dan tak ada sesuatu yang lain mendahuluinya. Ruang dan dan waktu tak berpengaruh atas sesuatu yang azali. Sifat yang kedua adalah zatnya berpijak pada esensinya sendiri yakni wujud dan sifatnya tidak bersandar pada realitas lain, dia tak dicipta oleh wujud yang lain dan juga tak ada satu realitaspun yang dapat membinasakannya.

Zat Tuhan hadir lebih dahulu atas waktu, atas segala keberadaan dan atas segala permulaan, konsep ini merupakan salah satu pemikiran yang cermat dan jitu dalam filsafat Ilahi, dan pengertian keazalian Tuhan bukan hanya bermakna bahwa Dia senantiasa berada bahkan keazalian Tuhan diatas ke-senantiasa-an keberadaan tersebut, karena ke-senantiasa-an itu mengharuskan adanya waktu sementara Tuhan, disamping bersama dengan segala realitas waktu, juga mendahului segala sesuatu termasuk waktu itu sendiri. Inilah pengertian yang benar tentang keazalian Tuhan. Tuhan adalah wujud murni dan semata-mata aktual serta tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Wujud-Nya tersembunyi dihadapan panca indera kita, tapi secara riil Dia adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan paling bercahaya, bahkan Dia adalah cahaya itu sendiri. Kesempurnaan Tuhan justru terletak diantara lahir dan batin atau jelas dan tersembunyi.

Berdasar pada kenyataan di atas, Mulla Sadra menarik kesimpulan bahwa al-Wahid al-Hakiki adalah suatu wujud yang tak butuh kepada sebab dan berpijak pada zat-Nya sendiri, disamping itu dia juga menetapkan simplisitas wujud-Nya (al-besâthat), ke-esa-an, ke-tunggal-an dan kesucian wujud-Nya dari segala bentuk kebercampuran, kejamakan, perubahan dan gerak serta keserupaan-Nya dengan makhluk-makhluk. Tuhan disebut Wâjib al-Wujud dari sisi bahwa wujud-Nya berdiri sendiri dan mutlak yakni memiliki kemandirian esensi dan zat serta tak butuh kepada wujud yang lain, Dia adalah Maha Kaya dalam semua dimensi dan aspek, oleh karena itu Dia mesti azali dan abadi.

Di sini Al-Farabi juga beranggapan tentang Tuhan bahwa disamping Dia Yang Pertama juga Yang Terakhir; Pelaku dan juga Puncak Tujuan, Pelaku dan Puncak Tujuan ini memiliki kesatuan yang sempurna yakni Dia Pelaku mutlak dan juga Tujuan mutlak. Secara hakiki, tak ada perbedaan antara azali dan abadi jika dihubungkan dengan wujud Tuhan, karena keabadian Dia adalah keazalian-Nya itu sendiri begitu pula sebaliknya, Tuhan sejak dahulu berada dan juga sekarang berada serta tak sesuatupun bersama-Nya; berdasarkan ini, Mulla Sadra menyebut Tuhan sebagai Wujud Mutlak.

Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa keazalian dan keabadian Tuhan bisa juga dipahami dengan makna bahwa Tuhan adalah suatu wujud di atas ruang dan waktu. Makna ini bukan berarti bahwa Tuhan itu, dari dimensi waktu, kita pahami sebagai sesuatu yang tak berawal dan juga tak berakhir. Dia secara mutlak keluar dari ruang dan waktu, Dia tidak diliputi oleh ruang dan waktu, karena kemarin dan hari ini masuk dalam kategori waktu. Dia tidak di dalam waktu dan tidak dalam suatu ruang, Dia juga tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tak satupun realitas yang meliputi dan mencakup-Nya, bahkan Dia yang meliputi segala realitas dan semua realitas itu di bawah pengaruh dan cakupan-Nya serta tak ada yang lepas dari kekuasaan-Nya. Tak bisa kita katakan bahwa Tuhan itu pernah tiada kemudian terwujud (hâdits) atau setelah Dia berada pada waktu tertentu akan menjadi binasa dan punah (fana).

Secara berurut, akan tertegaskan sifat lain untuk Wâjib al-Wujud yaitu tak satupun wujud atau realitas materi yang dapat menjadi Tuhan; karena wujud-wujud materi adalah sesuatu yang pernah tiada dan lantas terwujud kemudian (hâdits), begitu pula realitas wujud-wujud materi tak bisa kita katakan bahwa mereka itu senantiasa ada atau mustahil menjadi tiada.

Dalam doktrin-doktrin suci agama, keabadian dan keazalian Tuhan memiliki tiga pengertian, pertama adalah bahwa Tuhan itu abadi dalam waktu dan tak berakhir, yang kedua adalah Dia tak berwaktu, dan yang ketiga adalah Dia memiliki segala kesempurnaan wujud. Tapi dalam doktrin suci Islam, Tuhan diperkenalkan sebagai wujud yang suci dari segala bentuk kefakiran dan kebutuhan, sifat ini meniscayakan bahwa Tuhan tidak dalam ruang dan waktu; karena suatu realitas wujud yang berada dalam ruang pasti membutuhkan dan memerlukan ruang dan tempat, begitupula suatu wujud yang berada dalam waktu mesti memerlukan syarat-syarat tertentu agar dapat tetap berada dalam waktu.
Nama dan Sifat Tuhan

Tak satupun dari makhluk dalam semua aspek yang serupa dengan Tuhan. Pada sisi lain, setiap sifat dari sifat-sifat yang kita kenal adalah sifat makhluk dan bukan sifat Khâlik. Kalau Dia itu kita sifatkan dengan sifat-sifat yang kita ketahui tersebut, maka kita meletakkan makhluk serupa dan setara dengan Tuhan dalam sifat-sifat itu. Maka dari itu, kita harus memilih jalan agar kita tak terjebak dalam penafian makrifat tentang sifat Tuhan dan juga menghindar dari penyerupaan makhluk dengan Tuhan.

Kelihatannya jalan yang logis dalam pengenalan manusia tentang sifat-sifat Tuhan adalah beranggapan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dalam kemampuannya menjelajahi secara rasional ketakterbatasan sifat-sifat Tuhan. Jadi bukan berarti bahwa akan manusia secara mutlak tak mampu mengenal beberapa sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Sebagaian aliran teologis beranggapan bahwa akal manusia tak bisa menetapkan sifat-sifat Tuhan secara mendetail dan menegaskan batasan-batasan sifat-Nya. Walaupun aliran ini, kenyataannya tak menolak beberapa pengetahuan dan pengenalan kepada sifat Tuhan yang perlu dan urgen bagi manusia, ini berarti bahwa mereka tak memberikan batasan antara kemampuan pengenalan akal manusia dan "urgensi kebutuhan pengetahuan manusia terhadap Tuhan".

Maka jelaslah bahwa, dalam keadaan ketidakmampuan akal manusia mencapai secara sempurna pengetahuan hakiki tentang Tuhan, manusia sangat urgen memiliki pengetahuan tentang Tuhan walaupun sedikit dimana pengetahuan "yang sedikit" itu bukan hanya tak "dilarang" atau akal tak mampu menjangkaunya bahkan sangat perlu dan mesti bagi manusia dalam meraih keyakinan tentang-Nya. Pengetahuan "yang sedikit" tentang Tuhan sangat berpengaruh dalam semua bentuk peribadatan manusia kepada-Nya, tanpa pengetahuan itu mustahil manusia merasakan kelezatan dalam mengingat dan berzikir kepada-Nya.

Manusia dapat mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat yang menggambarkan kebaikan dan kesempurnaan-Nya dan hal itu tidak menunjukkan kekurangan dan keterbatasan-Nya. Memang benar bahwa Tuhan tak serupa dengan makhluk-makhluk dan begitu juga sebaliknya semua makhluk tak sama dengan Tuhan dalam semua dimensi. Tapi penafian keserupaan dan kesamaan (al-tasybih) tersebut bukan berarti menegaskan perlawanan dan pertentangan makhluk dengan Tuhan. Bentuk pensucian (al-tanzih) seperti tersebut di atas dapat dikatakan dalam suatu ungkapan, "Apa saja yang ada pada makhluk berbeda dengan apa yang ada pada Khalik". Perbedan tersebut bukanlah bentuk perlawanan dan pertentangan, makhluk bukanlah lawan dari Tuhan, makhluk adalah pancaran, ayat, bayangan, citra, tajalli dan manifestasi Tuhan. Kalau konsekuensi dari pensucian Tuhan tersebut adalah bahwa setiap makna yang sesuai dengan makhluk pasti tidak bersesuaian dengan Tuhan, lantas bagaimana dengan pengertian dan makna "keberadaan, eksistensi" dan "kesatuan" yang terterapkan dan teraplikasikan pada Tuhan dan makhluk? Jelaslah bahwa pemikiran tersebut bukan hanya meniadakan Tuhan dari sifat-sifat bahkan memustahilkan akal manusia mencapai pengeahuan dan makrifat tentang ketuhanan dimana hal ini berujung kepada pengingkaran dan penolakan eksistensi Tuhan.

Mulla Sadra, dalam masalah pengenalan sifat-sifat Tuhan, juga menggunakan metode yang berpijak pada gagasan burhan shiddiqin dimana burhan ini digunakan untuk menetapkan eksistensi dan kesatuan Tuhan. Ketika dalam hikmah muta'aliyah ditegaskan bahwa wujud itulah yang hakiki bukan kuiditas, dan zat Tuhan adalah wujud itu sendiri (wujud murni) yang tak memiliki keterbatasan, maka semua karakteristik wujud dan kesempurnaan wujud secara mutlak dan sempurna terdapat pada zat Tuhan.

Semua sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang disaksikan secara riil dan mendetail di alam ini, dari sisi bahwa hal itu menunjukkan keterbatasan mereka dan keterbatasan itu bersumber dari penafian dan ketiadaan kesempurnaan, dalam masalah Tuhan dimana zat-Nya adalah murni wujud niscaya secara mutlak menolak ketiadaan, segala bentuk ketiadaan tak sesuai dengan kesucian wujud-Nya, dan karena secara umum sifat-sifat yang tersaksikan tersebut berhubungan dengan ketiadaan dan keterbatasan maka secara pasti harus dinafikan dari zat suci Tuhan dan penegasan secara mutlak ketiadaan keterbatasan wujud dan sifat-Nya. Eksistensi Tuhan secara mutlak lepas dari segala syarat-syarat dan jauh dari semua bentuk keterbatasan, dari sisi ini, wujud Tuhan mustahil dibatasi dan diliputi oleh sebuah persepsi yang secara sempurna menceritakan tentang realitas wujud Tuhan.

Segala sifat-sifat yang mengesankan atau menceritakan suatu bentuk keterbatasan dan ketidaksempurnaan mesti dinafikan dari sifat-sifat Ilahi dan pada saat yang sama kesempurnaan eksistensial dari sifat-sifat tersebut ada pada zat Tuhan. Dengan ungkapan lain, kesempurnaan kuiditas tak ada pada zat Tuhan dan yang ada hanyalah kesempurnaan wujud. Tuhan Maha Mengetahui tapi bukan dengan perantaraan alat-alat keilmuan, Tuhan Maha Melihat tapi tidak dengan perantaraan mata, Tuhan Maha Mendengar tapi idak dengan telinga, Tuhan Maha Berkehendak tapi bukan dengan berpikir sebelumnya, Dia meliputi segala sesuatu tapi tidak dengan peliputan jasmani, Dia bersama dengan semua realitas tapi tidak dengan persatuan, Dia terpisah dan jauh dari segala sesuatu tapi tak berjarak.

Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud Tuhan adalah wujud yang paling sempurna, dari sisi ini, Dia berada di atas dari semua penginderaan kita. Penginderaan kita yang terbatas ini mustahil menjangkau suatu realitas wujud yang tak terbatas. Tuhan adalah puncak kesempurnaan dan kesempurnaan-Nya yang tak terbatas itu membuat heran dan kagum akal manusia. Manusia yang merupakan wujud yang terbatas dan berkekurangan bagaimana mungkin bisa meraih dan meliputi sesuatu yang wujudnya tak terbatas dan kesempurnaannya tak berujung. Oleh karena itu, menurut Mulla Sadra Tuhan yang memiliki wujud yang maha sempurna dan di atas ruang dan waktu mustahil berada dalam jangkauan indera dan akal manusia.

Lebih lanjut, Mulla Sadra menekankan bahwa pengenalan Tuhan adalah merupakan tujuan filsafat dan manusia berkewajiban mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan kemampuan dan "keluasan wujudnya" masing-masing serta berusaha mengikuti segala perbuatan Tuhan dan meneladani sunnah-Nya dalam semua dimensi. Mulla Sadra memustahilkan pengetahuan sempurna atas wujud Tuhan sebagaimana ada-Nya, pengetahuan manusia tentang Tuhan diperoleh dari jenis pengenalan rasionalitas yang berangkat dari analisa-analisa tajam dan teliti atas persepsi-persepsi yang ada.

Mulla Sadra menegaskan masalah sifat-sifat Tuhan dalam usaha dan jalur rasionalitas. Dia tidak sama dengan golongan orang-orang yang menyandarkan dan menisbahkan sifat dan perbuatan makhluk kepada Tuhan, dan diapun tidak sejalan dengan golongan orang-orang yang menafikan segala bentuk pengenalan manusia atas zat dan sifat-sifat Tuhan. Mulla Sadra, pada saat yang sama mengakui kemustahilan pengetahuan hakikat zat Tuhan juga menegaskan bahwa pengenalan Tuhan diperoleh lewat pengetahuan tentang nama dan sifat-sifat Tuhan.

Berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat agung Tuhan, Mulla Sadra berkeyakinan bahwa setiap nama – yang menceritakan hubungan Tuhan dan makhluk – bisa disandarkan dan dilekatkan kepada Tuhan, dan nama-nama tersebut bukanlah sesuatu yang berada di luar dari zat Tuhan. Dalam perspektif Mulla Sadra, satu-satunya jalan mencapai hakikat wujud Tuhan adalah dengan ma'rifat syuhudi dimana sesuai dengan potensi wujud masing-masing manusia, ma'rifat ini bukan pengetahuan tentang nama dan sifat Tuhan.

Mulla Sadra, tidak sama dengan kaum Asy'ariah yang memandang sifat-sifat Tuhan tersebut berada di luar dari zat Tuhan dan pada saat yang sama sifat-sifat itu merupakan sesuatu yang tak tercipta, dan dia juga tak sepaham dengan kelompok Mu'tazilah yang menafikan sifat-sifat Tuhan dan penisbahan sifat-sifat itu kepada Tuhan bersifat majasi. Mulla Sadra mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat tetapi bukan sifat yang berada di luar dari zat-Nya, sifat dan zat Tuhan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, perbedaan sifat dan zat-Nya hanya pada dataran persepsi (al-mafhum) bukan pada dimensi contoh luar (extensi, al-mishdaq), berbeda dalam persepsi dan satu dalam extensi. Menurutnya, akal ketika memahami satu kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan wujud Tuhan seperti ilmu dan kekuatan maka secara langsung diapun menegaskan kesempurnaan-kesempurnaan lain yang mesti dimiliki oleh Tuhan, karena wujud Tuhan merupakan suatu realitas yang basith dan satu kesatuan mutlak, segala kesempurnaan tak terbatas dimiliki-Nya dan tak satupun bentuk kesempurnaan yang dapat dinafikan dari wujud-Nya.

Mulla Sadra dalam kitab Asfar secara mendetail membahas tentang asma dan sifat Tuhan serta sekaligus menetapkan suatu sifat untuk Tuhan. Dia berkata, "Karena Tuhan merupakan wujud mutlak dan secara esensi Wâjib al-Wujud maka tersucikan dari segala bentuk kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu Dia adalah kebaikan dan kehidupan mutlak dan wujud seperti ini merupakan kesatuan antara subyek, obyek, dan ilmu.

Dalam gagasannya, Tuhan mengetahui semua makhluk. Ilmu-Nya tentang zat-Nya menyatu dengan zat-Nya dan ilmu kepada makhluk-Nya adalah ilmu huduri yang juga menyatu dengan zat-Nya. Mulla Sadra berbeda dengan Aristoteles yang memungkiri ilmu Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan mengetahui segala realitas makhluk secara partikularitas, Dia mengatur segala maujud serta ilmu dan kehendak-Nya meliputi segala sesuatu. Tak satupun keluar dari pengetahuan-Nya dan segala sesuatu yang ada di alam diatur dan diarahkan dalam sebaik dan sesempurnanya sistem.

Ilmu Tuhan dalam masalah-masalah yang bersifat partikular tidak sama dengan ilmu kita terhadap masalah tersebut. Ilmu-Nya tentangnya tidak berasal dari masalah tersebut dan tidak dipengaruhi oleh waktu dan zaman, jika demikian maka Dia harus berjarak dengannya dan berpengaruh pada-Nya, sementara hal in merupakan sesuatu yang mustahil. Ilmu Tuhan tidak berubah seiring perubahan yang terjadi pada wujud-wujud partikular, ilmunya tidak hadir secara aksiden dalam zat-Nya hingga Dia mesti "menunggu".

Sifat-Sifat Perbuatan Tuhan dan Masalah Penciptaan

Tak diragukan lagi bahwa seluruh alam dan segala kejadian yang terjadi di dalamnya, dari sisi wujud dan eksistensinya, memiliki hubungan dengan Tuhan, semuanya itu adalah perbuatan dan pancaran dari-Nya, pancaran dari sifat-sifat seperti, sifat Rahmat, Rahim, Pemberi Rezki, Keagungan, Kekayaan, Kemuliaan, dan lain sebagainya. Tuhan disifatkan dengan suatu sifat yang terambil dari tingkatan perbuatan itu sendiri, sifat ini disebut dengan sifat perbuatan dan lebih rendah dari sifat zat.

Kehendak (iradah), Kemurahan dan Kebaikan (ihsan) Tuhan adalah wujud eksternal itu sendiri (baca: alam dengan segala realitasnya) dimana terwujud dengan penciptaan Tuhan dengan perantaraan nama Al-Murid, Al-Karim dan Al-Muhsin. Penciptaan Tuhan tiada lain adalah realitas alam itu sendiri secara menyeluruh dan wujud-wujud partikular merupakan manifestasi langsung dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Makhluk-makhluk dengan wujudnya yang beraneka ragam dan sifatnya yang bermacam-macam mengisyaratkan kepada kita bahwa realitas itu merupakan tanda kesempurnaan zat dan sifat Tuhan, yakni realitas ini bersumber dari suatu perbuatan pada tingkatan zat Tuhan. Secara lahiriah, perbuatan Ilahi itu memiliki banyak perbedaan tapi pada hakikatnya semua kembali kepada satu perbuatan umum yang disebut dengan penciptaan. Yang dimaksud dengan penciptaan bukan berarti bahwa ada "bahan baku" atau "materi awal" sebelumnya dimana Tuhan menggunakan "bahan baku" tersebut sebagai bahan dasar dalam penciptaan, karena jika demikian maka wujud Tuhan tidaklah azali bila dibandingkan dengan "materi awal" tersebut dan juga wujud-Nya menjadi terbatas dan keterbatasan wujud-Nya ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak yang dimiliki-Nya.

Disamping itu, dari sisi perbuatan, Tuhan akan butuh kepada "materi awal" tersebut, dan kebutuhan Tuhan ini bertentangan Maha Kaya dan kesempurnaan mutlak-Nya. Iradah dan kehendak Tuhan adalah perbuatan dan penciptaan itu sendiri, karena segala bentuk pikiran, gambaran,khayalan, gerak dan kondisi serta faktor internal dan eksternal tidaklah sesuai dengan zat Tuhan. Tuhan mencipta tidak dari sesuatu.

Dalam filsafat Ilahi, kehendak Tuhan berhubungan dengan satu sistem keteraturan sempurna dimana memiliki kemaslahatan dan tujuan tertentu, kemaslahatan ini tidaklah membatasi kehendak Tuhan tersebut. Mulla sadra dalam hal ini menekankan bahwa sifat kebaikan harus dihubungkan kepada kekuatan dan ilmu Tuhan secara mutlak, ketika Tuhan dikatakan sebagai sumber segala kebaikan yakni perbuatan Tuhan dan eksistensi-Nya merupakan syarat dasar kebaikan dan paling tingginya kesempurnaan wujud dalam tatanan sempurna kewujudan.

Oleh karena itu, Tuhan mustahil berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hikmah dan tujuan universal, gagasan ini tidaklah bertentangan dengan kekuatan mutlak Tuhan. Segala perbuatan Ilahi memiliki kesesuaian dan keharmonisan satu sama lainnya. Menurut Mulla Sadra, Tuhan, disamping memiliki ilmu dan kekuatan mutlak juga sebagai Yang Maha Bijaksana (Al-Hakim).

Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan bukan hanya sebagai Pencipta (Al-Khaliq), bahkan juga sebagai Hakim yang memiliki kemurahan, keadilan dan sumber segala kebaikan dan rahmat. Biasanya kebaikan dan kecintaan digunakan sebagai dua sifat dari sifat-sifat Tuhan. Sumber kebaikan Tuhan adalah kecintaan dan rahmat-Nya, semua sifat-sifat ini digunakan dalam satu makna; tetapi yang terpenting diantara mereka adalah cinta dan mahabbah Tuhan. Menurutnya, Tuhan itu kesempurnaan, cinta dan kebaikan mutlak dimana pada satu sisi semua kebaikan berasal dari-Nya dan pada sisi lain kecintaan-Nya meliputi segala realitas wujud dan makhluk.
Tak ada keburukan mutlak yang merupakan lawan dari kebaikan mutlak di dalam tatanan alam ini, yang ada hanyalah keburukan aksidental yang bersifat nisbi, "keburukan" ini sebenarnya merupakan kebaikan pada tingkatan yang rendah, karena jika keburukan mutlak itu secara hakiki berwujud, maka bertentangan dengan wujud, ilmu dan hikmah Ilahi yang tak terbatas.

Sebagaimana wujud itu hakiki dan bergradasi, kebaikan dan kesempurnaan mutlak adalah wujud itu sendiri, maka kebaikan dan kesempurnaan juga bergradasi dan berjenjang. Karena tatanan segala realitas alam bersumber dari ilmu, kekuatan dan kecintaan kepada kesempurnaan dan kebaikan, maka segala realitas alam tersebut senantiasa berwujud dalam kondisi yang paling sempurna. Tak ada lagi tatanan dan sistem yang lebih sempurna dari tatanan yang universal ini, apa yang ada ini adalah yang terbaik dan paling sempurna, karena kalau ada yang terbaik yang tak tercipta oleh Tuhan, maka ilmu, kekuatan dan kesempurnaan-Nya pasti terbatas.

Mulla Sadra menyatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Pelaku atau Sebab hakiki di alam. Alam dalam pandangannya memiliki kesatuan dan keharmonisan serta mempunyai hubungan kausalitas antara tingkatan-tingkatan wujud. Gagasannya tentang ketunggalan Pelaku alam tak bertentangan dengan konsep keniscayaan sebab-akibat yang digagas oleh para filosof lain.

Awal Dan Akhir Penciptaan Alam

Masalah yang senantiasa menjadi pokok perhatian para pemikir dan filosof adalah hubungan antara Tuhan dan alam. Tuhan, dalam pandangan Mulla Sadra, adalah suatu wujud yang nonmateri (al-mujarrad), lantas bagaimana hubungan Dia dengan alam yang bersifat materi ini? Bagaimana bisa alam materi tercipta atau terpancar dari suatu realitas yang non materi? Apakah penciptaan alam "sezaman" dengan ke-qadim-an Tuhan?

Mulla Sadra berpegang pada konsep "manifestasi" dalam menetapkan bentuk hubungan antara satu dan jamak, antara kesatuan dan kejamakan. Dalam pandangannya, Tuhan adalah kesatuan yang hakiki dan wujud mutlak yang merupakan sumber segala kesempurnaan, berdasarkan rahmat-Nya yang luas maka terpancar dari-Nya suatu wujud yang oleh filosof disebut dengan akal pertama, akal pertama ini memiliki semua karakteristik yang ada pada wujud Tuhan, perbedaannya dengan Tuhan hanyalah bersifat tingkatan saja. Akal pertama berada satu tingkatan di bawah Tuhan.

Alam yang bersentuhan langsung dengan kita adalah alam materi, alam ini bersifat hâdits zamani(11) yakni wujudnya didahului oleh "ketiadaan" dan ketiadaannya didahului oleh wujud. Alam materi ini dipengaruhi oleh ruang, waktu dan gerak. Perubahan adalah substansi alam materi. Dengan semua karakteristik ini, alam materi tak lepas dari peliputan dan pencakupan Tuhan, awal dan akhir alam materi berhubungan dengan Tuhan.

Alam lain yang telah dibuktikan dan ditegaskan keberadaannya adalah alam non materi. Alam ini memiliki sifat konstan (tetap), tak bergerak, tak reaktif, tak berubah, tak berwaktu, dan tak berpotensi. Alam ini tetap memiliki sifat butuh dan bergantung kepada Tuhan sebagaimana alam materi, karena walaupun alam non materi tersebut memiliki memiliki banyak "persamaan dan keserupaan" dengan Tuhan tapi dari sisi wujudnya tetap memiliki keterbatasan. Kekhususan lain yang dimiliki oleh alam ini adalah setiap kesempurnaan yang secara mungkin dimilikinya niscaya ada padanya dan dia tak lagi menyempurna karena tak satupun sifatnya yang bersifat potensi. Semua manifestasi Tuhan secara sempurna diserapnya, hal ini seperti sebuah cermin yang menyerap dan memantulkan secara sempurna obyek yang berada dihadapannya.

Tuhan "bertajalli dan bermanifestasi" pertama kali di alam nonmateri tersebut, alam ini akan menyerap tajalli Tuhan itu dan secara sempurna memantulkannya secara bergradasi ke alam mitsal(12) lantas ke alam materi yang merupakan alam yang terendah. Tuhan tak lansung menciptkan alam materi ini, tapi Dia mencipta alam non materi dimana konsekuensi alam ini melahirkan alam-alam lain secara bergradasi hingga ke alam materi.

Demikianlah sepintas pembahasan tentang wujud, nama dan sifat-sifat Tuhan yang diramu dari gagasan-gagasan seorang filosof Ilahi yang agung, Mulla Sadra, pendiri Hikmah Muta'aliyah. Pembahasan ini sangatlah ringkas dan tidak semua gagasannya dituangkan secara sempurna dalam makalah ini karena keterbatasan penulis sendiri, makalah ini hanyalah secara global memperkenalkan konsep dan gagasan dari seorang filosf muslim yang terkenal dengan teori-teori transendentalnya tentang ke-Tuhan-an dan kami berharap suatu waktu, secara terperinci dan sistimatis, akan menjabarkan pemikiran-pemikirannya.


Catatan Kaki :

1. Alam ide Plato adalah suatu bentuk yang non materi dan juga hakikat persepsi akal. Alam ini bersifat, azali, konstan dan mandiri. Jadi, setiap realitas memiliki "bentuk non materi"nya di alam Ilahi, "bentuk non materi" itu dinamakan mutsul. Karena mutsui ini dikonsepsi pertama kali oleh Plato, maka kemudian para filosof menamakan mutsul Aflatun atau mutsul Plato, yang kita terjemahkan dengan alam ide Plato..

2. Istilah ini telah kami jelaskan secara terperinci dalam makalah kami yang berjudul "Tuhan dalam filsafat".

3. Ibnu Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3, hal. 18-27. Dan dalam kitab an-Najâh, hal. 66.

4. Ibnu Sina, asy-Syifa, makalah kedua, pasal keempat.

5. Para filosof peripatetik beranggapan bahwa di alam eksistensi ini terdapat sepuluh akal yang berjenjang dan bertingkat. Akal yang paling rendah tingkatannya disebut dengan akal fa'âl, akal ini disamping berfungsi untuk mengaktualkan segala potensi yang dimiliki oleh jiwa-jiwa juga berfungsi "mencipta" jiwa-jiwa dan akal-akal partikular (akal yang terdapat dalam diri manusia) di alam semesta ini.

6. Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, hal. 15 dan 16.

7. Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, bab penegasan tauhid.

8. Mulla Sadra, al-Masyâ'ir, hal. 69.

9.Maujud yang akan ditegaskan dan dibuktikan hakikat keberadaannya, misalnya dalam pengasumsian bahwa Tuhan itu berada kemudian dengan pendekatan dalil-dalil filosofis terbukti bahwa Tuhan benar-benar berwujud secara hakiki.

10. Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 115.

11. Adalah baru tercipta dalam waktu, alam ini pernah tiada - dalam waktu - dan sekarang baru tercipta dan hadir - juga dalam waktu -, jadi alam materi ini diliputi oleh waktu, bahkan waktu merupakan salah satu faktor hakiki terwujudnya alam, waktu adalah salah satu faktor pembangun alam.

12. Alam yang berada diantara alam akal dan alam materi.

Sumber: Islamalternatif.net
Selengkapnya...