Maaf, area blog ini tidak dapat di Klik Kanan. Terimakasih Telah Berkunjung di PUSTAKA-ALI. By Ali Morteza Pustaka - Ali: 2011
. . . SELAMAT DATANG DI BLOG Pustaka - Ali” . . . . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . .

Minggu, 25 Desember 2011

Download DNSJumper dari COPASUS

Heiy sahabat COPASUS, . .
Kali ini saya share Aplikasi bagus nih, DNSJumper . . . . hehehe
Fungsinya untuk lompat-lompat seperti namanya, hehehe
tidaklah, bukan untuk lompat-lompat. Fungsi dari DNSJumper ini untuk melompati jaringan, situs, dll. Jadi bagus nih, dengan DNSJumper ini, kamu bisa :
1. Membuka situs yang terblokir, biasanya diblokir oleh pemilik hostnya dengan menggunakan OpenDNS. Dengan aplikasi DNSJumper ini, situs itu akan tetap bisa kalian buka. Tuh, canggih kan ?
2. Bisa mencari otomatis jaringan yang tercepat loadingnya.
3. Bisa nyenengin orang kalau lagi OL tuh cepat, klik, langsung keluar.
hehehehe

kalau kalian sobat COPASUS ingin download aplikasi ini, kalian klik aja di sini !!


Untuk install, kayaknya mudah tuh, tapi inget, sebelum menginstal, kalian extract dulu itu file aplikasinya. Caranya klik kanan file - extract here, nanti akan muncul file DNSJumper.exe nya. Lalu ikuti cara di bawah ini :

1. Kalau pengen simpel, klik 2X aplikasinya, setelah muncul seperti gambar di bawah ini :


2. Di gambar bawah ini, klik no. 1, kemudian pilih nama modem atau wifinya. Kemudian klik no. 2, pilih "google" aja. Kemudian klik no. 3 dan tunggu hingga "please wait . . ." muncul dan hilang.


3. Silahkan buka dengan mozilla firefox, google chrome, blackhawk, atau lainnya terserah.
4. Taraaaaa . . . . . loadingnya cepat kan . .

Terimakasih telah berkunjung di COPASUS.

Sumber : ~^;;;COPASUS:::^~

Selengkapnya...

Jumat, 23 Desember 2011

Larangan Tentang Meniup Pada Makanan, Memperlihatkan Kepada Orang Lain, dan Mengibas Dengan Tangan

Larangan Tentang Meniup Pada Makanan, Memperlihatkan Kepada Orang Lain, dan Mengibas-ngibas Makanan Dengan Tangan

Ditulis oleh : ALI MORTEZA

وَ بِإِسْنَادِهِ عَنْ شُعَيْبِ بْنِ وَاقِدٍ عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ الصَّادِقِ ع عَنْ آبَائِهِ عَنِ النَّبِيِّ ص فِي حَدِيثِ الْمَنَاهِي قَالَ وَ نَهَى أَنْ يُنْفَخَ فِي طَعَامٍ أَوْ شَرَابٍ وَ أَنْ يُنْفَخَ فِي مَوْضِعِ السُّجُود


وَ فِي الْعِلَلِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ حَاتِمٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ فَضَّالٍ عَنْ ثَعْلَبَةَ عَنْ بَكَّارِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فِي الرَّجُلِ يَنْفُخُ فِي الْقَدَحِ قَالَ لَا بَأْسَ وَ إِنَّمَا يُكْرَهُ ذَلِكَ إِذَا كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَعَافَهُ وَ عَنِ الرَّجُلِ يَنْفُخُ فِي الطَّعَامِ قَالَ أَ لَيْسَ إِنَّمَا يُرِيدُ أَنْ يُبَرِّدَهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ لَا بَأْس‏


الْجَعْفَرِيَّاتُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدٌ حَدَّثَنِي مُوسَى قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَلِيِّ بْنِ‏
الْحُسَيْنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ ع أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص نَهَى عَنْ أَرْبَعِ نَفَخَاتٍ فِي مَوْضِعِ السُّجُودِ وَ فِي الرُّقَى وَ فِي الطَّعَامِ وَ الشَّرَاب‏


دَعَائِمُ الْإِسْلَامِ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ ع أَنَّهُ رَخَّصَ فِي النَّفْخِ فِي الطَّعَامِ وَ الشَّرَابِ وَ قَالَ إِنَّمَا يُكْرَهُ ذَلِكَ لِمَنْ كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ كَيْ لَا يَعَافَه‏


وَ رَوَى إِبْرَاهِيمُ الْكَرْخِيُّ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع عَنْ آبَائِهِ ع قَالَ قَالَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ ع فِي الْمَائِدَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ خَصْلَةً يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَعْرِفَهَا أَرْبَعٌ مِنْهَا فَرْضٌ وَ أَرْبَعٌ سُنَّةٌ وَ أَرْبَعٌ تَأْدِيبٌ فَأَمَّا الْفَرْضُ فَالْمَعْرِفَةُ وَ الرِّضَا وَ التَّسْمِيَةُ وَ الشُّكْرُ وَ أَمَّا السُّنَّةُ فَالْوُضُوءُ قَبْلَ الطَّعَامِ وَ الْجُلُوسُ عَلَى الْجَانِبِ الْأَيْسَرِ وَ الْأَكْلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ وَ لَعْقُ الْأَصَابِعِ وَ أَمَّا التَّأْدِيبُ فَالْأَكْلُ مِمَّا يَلِيكَ وَ تَصْغِيرُ اللُّقْمَةِ وَ تَجْوِيدُ الْمَضْغِ وَ قِلَّةُ النَّظَرِ فِي وُجُوهِ النَّاس‏


Selengkapnya...

Kamis, 22 Desember 2011

Aston 2.0.3 Incl + Crack

Hy Friend setia COPASUS . . .
sudah lama saya tidak share lagi, karena sibuk dengan materi lain yang harus diselesaikan nih . .
kali ini, saya akan tampilkan produk abang dytoshare kali ini, mau tau apa ? Namanya adalah Aston 2.0.3 Incl, yang berfungsi untuk merubah tampilan window menjadi lebih seru, menarik, dll. Yang jelas bikin seneng deh ngeliyatnya tuh . .
langsung aja deh lihat di bawah ini contohnya tampilannya :


cara instal :
Hilangkan cecklist

Lalu Copy 'a2desktop.dll','A2Menu.dll', dan 'A2Panels.dll' ke Folder 'Dll' Instalasi Aston anda. Default Folder : C:\Program Files\Aston\2\Dll

Setelah Crack tercopy, jalankan Aston2 - Pilih Aston - OK
Lalu OK lagi - maka Windows anda akan logoff - silahkan login lagi

Selanjutnya akan muncul untuk memasukkan Lisensi - Pilih 'Enter License Key'

Jalankan Keygen-nya - Klik Gen - Copy License Key dari Keygen ke Aston - Lalu Next

Pilih 'Enter Activation Code' - Next

Tuliskan User ID (Bebas) di keygen - Klik Generate - Copy Activation Code dari Keygen ke Aston - Lalu Next

Maka aktivasi akan FAILED - Copy User ID yang ada di Aston ke Keygen - Lalu klik Back

Pada Keygen Klik Generate Lagi - Lalu Copy Activation Code yang baru ke Aston lagi - Next

Selesai Aston Siap Digunakan

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-



Download CRACK aston 2.0.3 Incl nya di sini (2 MB)
Download file aston 2.0.3 Incl nya di sini (18 MB)
Download theme astonnya di sini ya

Selamat Mencoba ^-^ . .
Sumber : ^~COPASUS~^
Selengkapnya...

Nabi SAWW Adalah Cahaya, Berbeda Dengan Nabi-Nabi Yang Lain

Ditulis dan Diterjemahkan oleh : ALI MORTEZA


قَدْ جاءَكُمْ مِنَ اللهِ نُورٌ وَ كِتابٌ مُبينٌ

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan.” (QS. Al-Ma’idah : 15)


قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتابَ الَّذي جاءَ بِهِ مُوسى‏ نُوراً وَ هُدىً لِلنَّاسِ

“....Katakanlah, “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?”....” (QS. Al-An’am : 91)


Tafsir :
  1. Berbeda antara nabi Musa as yang diberi Al-Kitab oleh Allah dalam QS. Al-An’am : 91 tersebut dengan Al-Kitab yang ada pada Nabi saww dalam QS. Al-Ma’idah : 15.
  2. Perlu diketahui bahwasannya Al-Kitab yang diturunkan kepada nabi Musa as adalah Al-Kitab yang dijadikan oleh Allah sebagai cahaya, dan kemudian cahaya itu diturunkan untuk nabi Musa dan kemudian dijadikan sebagai petunjuk bagi umat manusia.
  3. Berbeda dengan Al-Kitab yang ada pada Nabi saww, Al-Kitab yang diturunkan pada Nabi saww adalah Al-Kitab yang isinya menerangkan untuk umat manusia. Lantas mengapa Al-Kitab pada Nabi saww ini tidak Allah jadikan cahaya sebagaimana layaknya yang diterima oleh nabi Musa as ?
  4. Ya, karena cahaya itu sendiri adalah Nabi saww, dan untuk apalagi Tuhan menyampaikan cahaya sedangkan yang akan Allah turunkan itu ditujukan kepada cahaya itu sendiri.
  5. Maka, telah jelaslah bahwasannya Nabi saww ini adalah cahaya, dan ini yang membedakan dengan nabi-nabi yang lain yang hanya menerima cahaya dari Allah dan bukan sebagai cahaya itu sendiri.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
Referensi:
Kitab Mulla Shadra yang berjudul Asrârul Âyât hal. 20 diterbitkan di Tehran oleh Theosophy dan Philosophy tahun 1360.
Selengkapnya...

Rabu, 21 Desember 2011

Dua Khalifah Allah yang Saling Berkontradiksi

Penulis : ALI MORTEZA


وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”.” (QS. Al-Baqarah : 30)


يا داوُدُ إِنَّا جَعَلْناكَ خَليفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوى‏ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبيلِ اللهِ إِنَّ الَّذينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبيلِ اللهِ لَهُمْ عَذابٌ شَديدٌ بِما نَسُوا يَوْمَ الْحِسابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shad : 26)

Tafsir :
  1. Perbedaan antara QS. Al-Baqarah : 30 dengan QS. Shad : 26 ini terletak pada kata (فِي الْأَرْضِ). Dalam QS. Al-Baqarah : 30 (فِي الْأَرْضِ) dan kemudian dilanjutkan dengan kata (خَلِيْفَةً), sedangkan QS. Shad : 26 mendahulukan (خَلِيْفَةً) barulah kemudian kata (فِي الْأَرْضِ).
  2. Perbedaan makna karena peletakan kata yang berbeda ini mengharuskan kepada makna yang sangat berbeda. Maksud Allah akan berbeda dengan adanya peletakan kata yang berbeda, karena Allah tidak akan salah dalam menuntun umatnya dengan Al-Quran ini.
  3. QS. Al-Baqarah : 30 berarti “Allah menjadikan di muka bumi seorang khalifah”, yang artinya adalah khalifah yang menguasai khalifah tersebut.
  4. QS. Shad : 26 berarti “Allah menjadikan khalifah di muka bumi ini”, yang artinya adalah khalifah yang menguasai bumi.
  5. Telah jelas bahwa ada dua macam khalifah yang Allah adakan di bumi ini.
  6. Perlu diketahui khalifah yang dikuasai muka bumi ini dengan khalifah yang menguasai muka bumi ini.
  7. Khalifah yang dikuasai muka bumi ini adalah khalifah yang terikat dengan materi. Khalifah yang masih diatur oleh alam ini.
  8. Khalifah (pemimpin) yang menguasai bumi ini adalah khalifah yang mengikat materi. Yakni khalifah yang mampu mengatur alam materi ini dari dirinya.
  9. Khalifah yang dikuasai dengan materi adalah khalifah yang akan merusak bumi ini, sebagaimana jawaban malaikat “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?”.
  10. Khalifah yang menguasai bumi ini, menguasai segala materi ini, adalah khalifah yang mampu membawa keadilan bagi semua umat manusia, sebagaimana kalimat “...berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil...”.
  11. Khalifah yang mampu menguasai materi ini adalah nabi Daud as, maka khalifah yang sederajat dengan nabi Daud adalah khalifah yang sempurna yang memang Allah ciptakan untuk mengatur manusia.
  12. Khalifah yang justru akan merusak bumi adalah khalifah selalu bertele-tele dengan materi-materinya dan apapun yang ada di bumi ini.
Selengkapnya...

Minggu, 18 Desember 2011

Masalah Shalat Qadha' dan Hukum Shalat Fardhu

Masalah Shalat Qadha'
dan
Hukum Shalat Fardhu


Penulis : ALI MORTEZA


Hukum shalat fardhu :

*) Shalat lima waktu dalam sehari semalam wajib shalat atas setiap muslim yang dibebani tugas oleh Allah (mukallaf), baik laki-laki maupun perempuan, kecuali wanita haid dan nifas (sebelum dia bersuci), dan itu merupakan rukun Islam yang paling utama setelah dua kalimah syahadat. Allah berfirman :

إِنَّ الصَّلاةَ كانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنينَ كِتاباً مَوْقُوتاً

"Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. an Nisa': 103)

*) Allah berfirman :

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ و الصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَ قُوْمُوا ِللهِ قَانِتِيْنَ

"Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthâ. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'." (QS. al Baqarah: 238)

*) Dari Abdullah bin Umar : Rasulullah SAWW bersabda : "Islam dibangun atas lima perkara: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan sebenarnya) selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasulNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menunaikan haji ke baitullah, dan berpuasa di bulan ramadhan" (Muttafaq 'alaih)[1]


*) Dari Ibnu Abbas : bahwasanya Nabi SAWW mengutus Mu'dz ke Yaman dan berkata : "Ajaklah mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan sebenarnya) selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, apabila mereka mentaatimu dalam hal tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali dalam sehari semalam …" (Muttafaq 'alaih.)[2]

Teman-teman sekalian lupa Sholat Fardhu. Maka Qadha’-lah Shalat Anda ! 
Masalah qadha’ shalat menimbulkan perdebatan diantara kita. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan pengertian tentang qadha’ shalat itu sendiri, sehingga ada sebagian yang berpendapat bahwa qadha’ shalat adalah shalat yang dilakukan pada waktu yang sama ketika shalat tersebut sengaja tidak dilakukan pada masa sebelumnya, sehingga banyak juga orang yang tidak shalat pada masa mudanya, kemudian ia mengqadha’nya pada masa tuanya. Sedangkan jika kita melihat hadis dan praktek Rasulullah SAWW, hal tersebut tidak ditemukan dasarnya.
Oleh karena itu, qadha’ shalat seharusnya diartikan dengan melaksanakan shalat di luar waktunya karena ketiduran atau lupa. Sebagaimana hadis shahih yang menjelaskan bahwa siapa yang tidak melasanakan shalat sesuai waktunya disebabkan tertidur atau lupa, maka hendaklah ia shalat ketika terbangun atau ingat. Hal ini dijelaskan di dalam shahih Muslim bab al-Masajid wa al-Mawdhi’ as-Shalat, no. 1103 :



و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا




Dari Muhammad bin al-Muthanna dari Abd al-A’la dari Sa’id dari Qotadah dari Anas bin Malik berkata bahwa Nabi Saw., bersabda: “Barangsiapa yang lupa shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah shalat ketika terbangun dari tidur dan dia ingat.”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
  1. HR. Bukhari no: (8) dan Muslim no (16), ini lafadz Muslim
  2. HR. Bukhari no (1395), dan Muslim no (19).


Selengkapnya...

Qadha' Puasa Dan Qadha' Shalat

Qadha' Puasa Dan Qadha' Shalat

Penulis : ALI MORTEZA

Bagi wanita yang haid tidak perlu mengqadha’ shalat yang ditinggalkan, sebagaimana dijelaskan di dalam hadis shahih yang terdapat di dalam:

حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ مُعَاذَةَ ح و حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ يَزِيدَ الرِّشْكِ عَنْ مُعَاذَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ عَائِشَةَ فَقَالَتْ أَتَقْضِي إِحْدَانَا الصَّلَاةَ أَيَّامَ مَحِيضِهَا فَقَالَتْ عَائِشَةُ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قَدْ كَانَتْ إِحْدَانَا تَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لَا تُؤْمَرُ بِقَضَاءٍ


Dari al-Rabi’ al-Zuhrany dari Hammad dari Ayyub dari Abi Qilabah dari Mu’adah. Juga dari Hammad dari Yazid al-Risyki dari Mu’adah bahwa seorang perempuan bertanya kepada Aisyah, apakah kami mengqadha’ shalat yang kami tinggalkan ketika dalam keadaan haid, maka Aisyah menjawabnya apakah kamu termasuk orang Khawarij, padahal di antara kami sedang haid pada zaman Rasulullah Saw., dan kami tidak diperintahkan mengqadha’ shalat.(1)
Di sisi lain juga dijelaskan dari Aisyah bahwa kami diperintahkan mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat. Hal ini terdapat di dalam:



و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ



Hamid bin Abdul Razzaq mengatakan kepada kami tentang Muammar Asim Mu'aadhah bertanya pada Aisyah, maka ia berkata tentang puasa wanita yang sedang menstruasi dan shalat, saya tidak diperintahkan untuk melakukan shalat, tapi saya diperintahkan untuk mengganti puasa. 
Dari pembahasan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa, setiap orang yang meninggalkan puasa, terutama yang paling bisa dikatakan pasti ada lubang dalam puasa bulan Ramadhan adalah bagi para wanita yang haid. Maka Qadha’-lah Puasa Anda !

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
  1. Shahih Muslim bab al-Haid, no. 506
  2. Shahih Muslim bab al-Haid, no. 508
Selengkapnya...

Tentang Shalat Tahajud

Tentang Shalat Tahajud

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com


Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu 'ala Rosulillah wa 'ala alihi wa shohbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin ilaa yaumid diin.

Suatu kenikmatan yang sangat indah adalah bila seorang hamba bisa merasakan bagaimana bermunajat dengan Allah di tengah malam terutama ketika 1/3 malam terakhir. Berikut sedikit panduan dari kami mengenai shalat tahajud.
Maksud Shalat Tahajud

Shalat malam (qiyamul lail) biasa disebut juga dengan shalat tahajud. Mayoritas pakar fiqih mengatakan bahwa shalat tahajud adalah shalat sunnah yang dilakukan di malam hari secara umum setelah bangun tidur.(1)


Keutamaan Shalat Tahajud

Pertama: Shalat tahajud adalah sifat orang bertakwa dan calon penghuni surga.
Allah Ta'ala berfirman,

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ آَخِذِينَ مَا آَتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz Dzariyat: 15-18).

Al Hasan Al Bashri mengatakan mengenai ayat ini, “Mereka bersengaja melaksanakan qiyamul lail (shalat tahajud). Di malam hari, mereka hanya tidur sedikit saja. Mereka menghidupkan malam hingga sahur (menjelang shubuh). Dan mereka pun banyak beristighfar di waktu sahur.”(2)

Kedua: Tidak sama antara orang yang shalat malam dan yang tidak.
Allah Ta'ala berfirman,

أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar: 9).

Yang dimaksud qunut dalam ayat ini bukan hanya berdiri, namun juga disertai dengan khusu'.(3)
Salah satu maksud ayat ini, “Apakah sama antara orang yang berdiri untuk beribadah (di waktu malam) dengan orang yang tidak demikian?!”(4) Jawabannya, tentu saja tidak sama.

Ketiga: Shalat tahajud adalah sebaik-baik shalat sunnah.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”(5)

An Nawawi -rahimahullah- mengatakan, “Ini adalah dalil dari kesepakatan ulama bahwa shalat sunnah di malam hari lebih baik dari shalat sunnah di siang hari. Ini juga adalah dalil bagi ulama Syafi’iyah (yang satu madzhab dengan kami) di antaranya Abu Ishaq Al Maruzi dan yang sepaham dengannya, bahwa shalat malam lebih baik dari shalat sunnah rawatib. Sebagian ulama Syafi’iyah yang lain berpendapat bahwa shalat sunnah rawatib lebih afdhol (lebih utama) dari shalat malam karena kemiripannya dengan shalat wajib. Namun pendapat pertama tetap lebih kuat dan sesuai dengan hadits. Wallahu a’lam.(6)

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Waktu tahajud di malam hari adalah sebaik-baik waktu pelaksanaan shalat sunnah. Ketika itu hamba semakin dekat dengan Rabbnya. Waktu tersebut adalah saat dibukakannya pintu langit dan terijabahinya (terkabulnya) do'a. Saat itu adalah waktu untuk mengemukakan berbagai macam hajat kepada Allah.”(7)
'Amr bin Al 'Ash mengatakan, “Satu raka'at shalat sunnah di malam hari lebih baik dari 10 raka'at shalat sunnah di siang hari.” Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya.(8)

Ibnu Rajab mengatakan, “Di sini 'Amr bin Al 'Ash membedakan antara shalat malam dan shalat di siang hari. Shalat malam lebih mudah dilakukan sembunyi-sembunyi dan lebih mudah mengantarkan pada keikhlasan.”(9) Inilah sebabnya para ulama lebih menyukai shalat malam karena amalannya yang jarang diketahui orang lain.

Keempat: Shalat tahajud adalah kebiasaan orang sholih.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ

“Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (shalat malam) karena shalat malam adalah kebiasaan orang sholih sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada Allah. Shalat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa. ”(10)

Kelima: Sebaik-baik orang adalah yang melaksanakan shalat tahajud.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengatakan mengenai 'Abdullah bin 'Umar,

« نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ ، لَوْ كَانَ يُصَلِّى بِاللَّيْلِ » . قَالَ سَالِمٌ فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ لاَ يَنَامُ مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَلِيلاً .

“Sebaik-baik orang adalah 'Abdullah seandainya ia mau melaksanakan shalat malam.” Salim mengatakan, “Setelah dikatakan seperti ini, Abdullah bin 'Umar tidak pernah lagi tidur di waktu malam kecuali sedikit.”(11)


Waktu Shalat Tahajud

Shalat tahajud boleh dikerjakan di awal, pertengahan atau akhir malam. Ini semua pernah dilakukan oleh Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana Anas bin Malik -pembantu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam- mengatakan,

مَا كُنَّا نَشَاءُ أَنْ نَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلِ مُصَلِّيًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ وَلَا نَشَاءُ أَنْ نَرَاهُ نَائِمًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ

“Tidaklah kami bangun agar ingin melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di malam hari mengerjakan shalat kecuali pasti kami melihatnya. Dan tidaklah kami bangun melihat beliau dalam keadaan tidur kecuali pasti kami melihatnya pula.”(12)
Ibnu Hajar menjelaskan,

إِنَّ صَلَاته وَنَوْمه كَانَ يَخْتَلِف بِاللَّيْلِ وَلَا يُرَتِّب وَقْتًا مُعَيَّنًا بَلْ بِحَسَبِ مَا تَيَسَّرَ لَهُ الْقِيَام

“Sesungguhnya waktu shalat malam dan tidur yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbeda-beda setiap malamnya. Beliau tidak menetapkan waktu tertentu untuk shalat. Namun beliau mengerjakannya sesuai keadaan yang mudah bagi beliau.”(13)


Waktu Utama untuk Shalat Tahajud

Waktu utama untuk shalat malam adalah di akhir malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb kami -Tabaroka wa Ta'ala- akan turun setiap malamnya ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir." Lalu Allah berfirman, “Siapa yang memanjatkan do'a pada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberinya. Siapa yang meminta ampun pada-Ku, Aku akan memberikan ampunan untuknya”.”(14)
Dari 'Abdullah bin 'Amr, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا

“Sesungguhnya puasa yang paling dicintai di sisi Allah adalah puasa Daud15 dan shalat yang dicintai Allah adalah shalatnya Nabi Daud 'alaihis salam. Beliau biasa tidur di separuh malam dan bangun tidur pada sepertiga malam terakhir. Lalu beliau tidur kembali pada seperenam malam terakhir. Nabi Daud biasa sehari berpuasa dan keesokan harinya tidak berpuasa.”(16)
'Aisyah pernah ditanyakan mengenai shalat malam yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. 'Aisyah menjawab,

كَانَ يَنَامُ أَوَّلَهُ وَيَقُومُ آخِرَهُ ، فَيُصَلِّى ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِهِ ، فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَثَبَ ، فَإِنْ كَانَ بِهِ حَاجَةٌ اغْتَسَلَ ، وَإِلاَّ تَوَضَّأَ وَخَرَجَ

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa tidur di awal malam, lalu beliau bangun di akhir malam. Kemudian beliau melaksanakan shalat, lalu beliau kembali lagi ke tempat tidurnya. Jika terdengar suara muadzin, barulah beliau bangun kembali. Jika memiliki hajat, beliau mandi. Dan jika tidak, beliau berwudhu lalu segera keluar (ke masjid).”(17)


Shalat Tahajud Ketika Kondisi Sulit

Bermunajatlah pada Allah di akhir malam ketika kondisi begitu sulit.
'Ali bin Abi Tholib pernah menceritakan,

رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ وَمَا كَانَ مِنَّا فَارِسٌ يَوْمَ بَدْرٍ غَيْرَ الْمِقْدَادِ بْنِ الأَسْوَدِ

“Kami pernah memperhatikan pada malam Badar dan ketika itu semua orang pada terlelap tidur kecuali Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam. Beliau melaksanakan shalat di bawah pohon. Beliau memanjatkan do'a pada Allah hingga waktu Shubuh. Dan tidak ada di antara kami tidak ada yang mahir menunggang kuda selain Al Miqdad bin Al Aswad.”(18) Dalam riwayat lain disebutkan,

يُصَلِّى وَيَبْكِى حَتَّى أَصْبَحَ

“Beliau melaksanakan shalat sambil menangis hingga waktu shubuh.”(19)


Jumlah Raka'at Shalat Tahajud yang Dianjurkan (Disunnahkan)

Jumlah raka'at shalat tahajud yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka'at. Dan inilah yang menjadi pilihan Nabishallallahu 'alaihi wa sallam.
'Aisyah mengatakan,

مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambah shalat malam di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 raka'at. Beliau melakukan shalat empat raka'at, maka jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya. Kemudian beliau melakukan shalat empat raka'at lagi dan jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya. Kemudian beliau melakukan shalat tiga raka'at.”(20)
Ibnu 'Abbas mengatakan,

كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ

“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat malam 13 raka'at. ”(21)
Zaid bin Kholid Al Juhani mengatakan,

لأَرْمُقَنَّ صَلاَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اللَّيْلَةَ فَصَلَّى. رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ أَوْتَرَ فَذَلِكَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً.

“Aku pernah memperhatikan shalat malam yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau pun melaksanakan 2 raka'at ringan. Kemudian setelah itu beliau laksanakan 2 raka'at yang panjang-panjang. Kemudian beliau lakukan shalat 2 raka'at yang lebih ringan dari sebelumnya. Kemudian beliau lakukan shalat 2 raka'at lagi yang lebih ringan dari sebelumnya. Beliau pun lakukan shalat 2 raka'at yang lebih ringan dari sebelumnya. Kemudian beliau lakukan shalat 2 raka'at lagi yang lebih ringan dari sebelumnya. Lalu terakhir beliau berwitir sehingga jadilah beliau laksanakan shalat malam ketika itu 13 raka'at.”(22) Ini berarti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan witir dengan 1 raka'at.(23)
Dari sini menunjukkan bahwa disunnahkan sebelum shalat malam, dibuka dengan 2 raka'at ringan terlebih dahulu. 'Aisyah mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan melaksanakan shalat dua rak'at yang ringan.”(24)


Bolehkah Menambahkan Raka'at Shalat Malam Lebih Dari 11 Raka'at?

Al Qodhi 'Iyadh mengatakan,

وَلَا خِلَاف أَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ حَدّ لَا يُزَاد عَلَيْهِ وَلَا يَنْقُص مِنْهُ ، وَأَنَّ صَلَاة اللَّيْل مِنْ الطَّاعَات الَّتِي كُلَّمَا زَادَ فِيهَا زَادَ الْأَجْر ، وَإِنَّمَا الْخِلَاف فِي فِعْل النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا اِخْتَارَهُ لِنَفْسِهِ

“Tidak ada khilaf bahwa tidak ada batasan jumlah raka'at dalam shalat malam, tidak mengapa ditambah atau dikurang. Alasannya, shalat malam adalah bagian dari ketaatan yang apabila seseorang menambah jumlah raka'atnya maka bertambah pula pahalanya. Jika dilakukan seperti ini, maka itu hanya menyelisihi perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyelisihi pilihan yang beliau pilih untuk dirinya sendiri.”(25)
Ibnu 'Abdil Barr mengatakan,

فلا خلاف بين المسلمين أن صلاة الليل ليس فيها حد محدود وأنها نافلة وفعل خير وعمل بر فمن شاء استقل ومن شاء استكثر

“Tidak ada khilaf di antara kaum muslimin bahwa shalat malam tidak ada batasan raka'atnya. Shalat malam adalah shalat nafilah (shalat sunnah) dan termasuk amalan kebaikan. Seseorang boleh semaunya mengerjakan dengan jumlah raka'at yang sedikit atau pun banyak.”(26)
Adapun dalil yang menunjukkan bolehnya menambah lebih dari 11 raka'at, di antaranya:
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua raka'at-dua raka'at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka'at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.”(27) Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjelaskannya.
Lalu bagaimana dengan hadits 'Aisyah,

مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambah shalat malam di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 raka'at.”(28)

Jawabannya adalah sebagai berikut:
Jika ingin mengikuti sunnah (ajaran) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mestinya mencocoki beliau dalam jumlah raka'at shalat juga dengan tata cara shalatnya.
Sedangkan shalat yang paling bagus, kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah,

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوت

“Shalat yang paling baik adalah yang paling lama berdirinya.”(29)

Namun sekarang yang melakukan 11 raka'at demi mencontoh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan lama seperti beliau. Padahal jika kita ingin mencontoh jumlah raka'at yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seharusnya juga lama shalatnya pun sama. Sekarang pertanyaannya, manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka'at dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka'at yang dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga jam? Yang satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu 'alaihi wa sallam dari segi jumlah raka'at. Namun yang satu mendekati ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara ini yang lebih baik?
Jawabannya, tentu yang kedua yaitu yang shalatnya lebih lama dengan raka'at yang lebih banyak. Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat malam dan sedikit tidurnya. Allah Ta'ala berfirman,

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz-Dzariyat: 17)

وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.” (QS. Al-Insan: 26)

Oleh karena itu, para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka'at namun dengan raka'at yang panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka'at atau 36 raka'at. Ada pula yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun yang mereka inginkan adalah mengikuti maksud Nabishallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri yang lama). Sampai-sampai sebagian ulama memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin memperlama berdiri dan membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka'at yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat, hendaklah ia menambah raka'atnya.”
Mengapa ulama ini bisa mengatakan demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika shalat malam. -Demikianlah faedah yang kami dapatkan dari penjelasan Syaikh Musthofa Al 'Adawi dalam At Tarsyid-30


Qodho' bagi yang Luput dari Shalat Tahajud karena Udzur

Bagi yang luput dari shalat tahajud karena udzur seperti ketiduran atau sakit, maka ia boleh mengqodho'nya di siang hari sebelum Zhuhur.
'Aisyah mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا فَاتَتْهُ الصَّلاَةُ مِنَ اللَّيْلِ مِنْ وَجَعٍ أَوْ غَيْرِهِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً.

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika beliau luput dari shalat malam karena tidur atau udzur lainnya, beliau mengqodho'nya di siang hari dengan mengerjakan 12 raka'at.”(31)

'Umar bin Khottob mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَىْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ

“Barangsiapa yang tertidur dari penjagaannya atau dari yang lainnya, lalu ia membaca apa yang biasa ia baca di shalat malam antara shalat shubuh dan shalat zhuhur, maka ia dicatat seperti membacanya di malam hari.”(32)

Demikian pembahasan ringkas kami mengenai shalat tahajud. Kami masih akan membahas kiat-kiat bangun shalat tahajud dan panduan shalat witir -insya Allah-. Semoga Allah mudahkan. Semoga kita semakin terbimbing dengan sajian ringkas ini. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkan sekaligus merutinkannya.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Disempurnakan di Panggang-Gunung Kidul, 21 Muharram 1431 H

Footnote:

  1. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/397, Al Maktabah At Taufiqiyah.
  2. Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, 13/212, Maktabah Al Qurthubah.
  3. Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 12/115.
  4. Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 7/166, Al Maktab Al Islami.
  5. HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah.
  6. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, 8/55, Dar Ihya' At Turots Al 'Arobi, Beirut, 1392
  7. Lathoif Al Ma'arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 77, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1428 H.
  8. Lathoif Al Ma'arif, hal. 76.
  9. Idem.
  10. Lihat Al Irwa' no. 452. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
  11. HR. Bukhari no. 3739, dari Hafshoh.
  12. Shahih. HR. Bukhari no. 1141, An Nasai no. 1627 (ini lafazh An Nasai), At Tirmidzi no. 769. Lihat Shahih wa Dho'if Sunan An Nasai, Syaikh Al Albani, 4/271, Asy Syamilah.
  13. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al 'Asqolani Asy Syafi'i, 3/23, Darul Ma'rifah Beirut, 1379.
  14. HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758, dari Abu Hurairah.
  15. Sebagaimana dijelaskan oleh penulis Shahih Fiqh Sunnah -Syaikh Abu Malik- bahwa puasa Daud ini boleh dilakukan dengan syarat tidak sampai melalaikan yang wajib-wajib dan tidak sampai melalaikan memberi nafkah kepada keluarga yang menjadi tanggungannya. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 2/138, Al Maktabah At Taufiqiyah.
  16. HR. Bukhari no. 1131 dan Muslim no. 1159, dari 'Abdullah bin 'Amr.
  17. HR. Bukhari no. 1146, dari 'Aisyah.
  18. HR. Ahmad 1/138. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
  19. HR. Ahmad 1/125. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
  20. HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738.
  21. HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764.
  22. HR. Muslim no. 765.
  23. Lihat Al Muntaqo Syarh Al Muwatho', 1/280, Mawqi' Al Islam.
  24. HR. Muslim no. 767.
  25. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, An Nawawi, 6/19, Dar Ihya' At Turots Al Arobi Beirut, cetakan kedua, 1392.
  26. At Tamhid, Ibnu 'Abdil Barr, 21/69-70, Wizaroh Umum Al Awqof, 1387 dan Al Istidzkar, Ibnu 'Abdil Barr, 2/98, Darul Kutub Al 'Ilmiyyah, 1421 H.
  27. HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu 'Umar.
  28. HR. Bukhari dan Muslim. Sudah lewat takhrijnya.
  29. HR. Muslim no. 756, dari Jabir.
  30. Lihat At Tarsyid, Syaikh Musthofa Al 'Adawi, hal. 146-149, Dar Ad Diya'.
  31. HR. Muslim no. 746.
  32. HR. Muslim no. 747.


Sumber : ~^COPASUS^~ (Klik Di Sini)
Selengkapnya...

Kamis, 15 Desember 2011

Download Radmin 3.4 Server

Hey Sobat Blog COPASUS . . . . !!!

Masih tetap semangat kan ???
langsung aja deh, kalau ingin download Radmin 3.4 Server, klik aja di sini

untuk yang belum tahu kegunaannya, saya kasih ringkasnya aja deh, Radmin ini untuk memonitor komputer lain via jaringan . . .
itu deh intinya
heheheheheh

Sumber : BLOG COPASUS Ali Morteza
Selengkapnya...

Senin, 12 Desember 2011

TAFSIR SURAT AL-AHZDAB (ayat 33) Ditulis Oleh : Ali Morteza

TAFSIR SURAT AL-AHZDAB (ayat 33)


Ditulis oleh ALI MORTEZA


وَ قَرْنَ في‏ بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجاهِلِيَّةِ الْأُولى‏ وَ أَقِمْنَ الصَّلاةَ وَ آتينَ الزَّكاةَ وَ أَطِعْنَ اللهَ وَ رَسُولَهُ إِنَّما يُريدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهيرا

“Dan hendaklah kamu menetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah zaman dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.”


Tafsir :

  1. Ayat ini membatasi pengertian Ahlul Bait dengan adanya beberapa kaidah bahasa arab yang tertuang di dalam kalimat-kalimat ayat ini, seperti pada no. 2 dan seterusnya.
  2. Penggunaan kata (إِنَّما) atau “sesungguhnya” yang digunakan sebagai pengecualian dan pembatasan. Bentuk (إِنَّما) ini biasa disebut dengan “aadatu lilqashr”. Sehingga kalimat setelah (إِنَّما) ini adalah kalimat yang ditujukan kepada objek yang terbatas.
  3. Pengunaan kata ganti (عَنْكُمُ) atau “dari kalian” atau “darimu” ini yang menjelaskan adanya kaum lelaki, karena (كُمُ) atau “kalian” atau “-mu” ini dalam kaedah bahasa Arab adalah “kalian (untuk laki-laki)” atau “-mu (untuk laki-laki)”. Dan ini membedakan dengan kalimat-kalimat sebelumnya, yaitu kata (كُنَّ) atau “kalian (untuk perempuan)” atau “-mu (untuk perempuan)” yang terdapat pada kata (بُيُوتِكُنَّ) atau “di rumah kalian (untuk perempuan)” atau “di rumahmu (untuk perempuan)” yang mana kata ini menjelaskan kepada perempuan, dengan demikian jelas bahwasannya, istri-istri Nabi ini yang menjadi pokok pembicaraan ayat-ayat sebelumnya(*) dan juga setelahnya itu telah mengeluarkan pembicaraan mengenai ahlul bait. Sedangkan pada ayat 33 Al-Ahzab ini setelah kata (إِنَّما) atau “sesungguhnya” ini menjelaskan mengenai Ahlul Bait, sehingga, bisa dilihat bahwa sebelum kata (إِنَّما) ini membicarakan mengenai istri-istri Nabi, dan kemudian setelah kata (إِنَّما) membahas masalah Ahlul Bait, maka istri-istri Nabi tidak termasuk di dalamnya.
  4. Kata kerja yang digunakan ayat ini adalah (مضارع) atau continuous (dalam bahasa Inggris) atau sedang terjadi/dilakukan, ini pertanda bahwa kehendak Allah ini tidak mengenal waktu dan tempat baik itu (يُريدُ) atau “bermaksud”, (يُذْهِبَ) atau “menghilangkan” atau (يُطَهِّرَ) atau “menyucikan”.
  5. Dalam ayat ini Allah menjauhkan kotoran dari Ahlul Bait, bukan menjauhkan Ahlul Bait dari kotoran. Bisa dikatakan, Allah mencegah dari adanya kotoran-kotoran (dosa).
  6. Penjauhan kotoran demikian ini tidak menghilangkan ikhtiyar Ahlul Bait, berbeda dengan Ahlul Bait yang dijauhkan. Jika Allah menjauhkan kesalahan dari Ahlul Bait, maka Ahlul Bait tetap pada ikhtiyarnya sebagai manusia. Sedangkan jika Allah menjauhkan Ahlul Bait dari kesalahan, maka Ahlul Bait tidak lagi ada ikhtiyar, karena Ahlul Baitnya yang dijauhkan dari kesalahan, sehingga Ahlul Bait tidak perlu berusaha susah payah dalam hidup, tanpa shalatpun, tetap Ahlul Bait dijauhkan dari kesalahan, maka yang demikian adalah salah, karena Ahlul Bait tidak ikhtiyar jika demikian. Maka dari itulah dikatakan bahwasannya, kesalahanlah yang dijauhkan dari Ahlul Bait.
  7. Kalimat (الرِّجْسَ) dalam bahasa Arab ini berarti kotoran-kotoran, baik lahir maupun batin. Sehingga, kotoran-kotoran lahir-batin ini yang dijauhkan dari Ahlul Bait oleh Allah. 
  8. Karena ayat ini menggunakan bentuk (كُمُ), maka bentuk kata ini mengharuskan ada orang orang yang dimaksudkan. Sebagaimana dalam bahasa Indonesia sendiri contoh kalimat “Aku berjalan dengannya”. Maka, kata “-nya” ini mengharuskan orang khusus yang dimaksudkan. Sama halnya bentuk (كُمُ) ini. Dan dari inilah dikatakan bahwa Ahlul Bait di sini terbatas. Yakni siapa ?
  9. Sebagaimana dalam riwayat(**). Ummu l`mu`minin Aisyah mengatakan, "Pada suatu pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya; kemudian datang Fathimah,lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca QS. Al-Ahzab : 33 : ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ ". Dan Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. telah mengerudungkan sehelai kain ke atas Hasan, Husayn, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, "Ya Allah, mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya,". Kemudian Ummu Salamah berkata: "Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah ?". Beliau bersabda, "Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan".(****)
  10. Ayat ini juga menjelaskan kema’shuman Ahlul Bait, sebagaimana Allah menjauhkan kotoran-kotoran baik lahir maupun batin, itu sudah jelas.
  11. Dengan disebutkannya objek “Allah” ini menjelaskan adanya inayah Allah kepada mereka Ahlul Bait.
  12. Adanya inayah Allah ini karena mereka Ahlul Bait memiliki tugas. 
  13. Untuk menjadi tauladan manusia dibutuhkan kematangan mental dan spiritual
  14. Ahlul bait adalah manusia-manusia pilihan.
  15. Manusia akan menoreh setiap perbuatan dan prilaku tidak baik dari orang lain apalagi dari suri tauladannya, karena pribadi-pribadi ini harus agung dan mulia dari seluruh prilakunya.
  16. Iradah yang ada dalam ayat ini adalah iradah takwiniyyah, yang berarti penciptaan. Artinya iradah takwiniyyah Allah ini berhubungan dengan penciptaan. Sebagaimana Allah mengatakan pada QS. Yasin : 82 : “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka terjadilah ia.”. Dalam ayat ini Allah Swt, dengan iradah takwiniyyah-Nya telah memberikan kekuatan pada Ahlul Bait untuk dapat meninggalkan segala kotoran dan menjauhkannya, sehingga mereka selamanya terjaga dari dosa.
  17. Ahlul bait adalah manusia-manusia sempurna yang menjadi manifestasi-manifestasi (tajalli) Allah.
  18. Ahlul bait adalah hakikat Al-Quran suci, karena Al- Quran mengatakan tidak ada yang bisa memahami Al-Quran kecuali orang-orang yang suci. Ini jelas.
  19. Adanya pengukuhan (penekanan) di dalam ayat ini selain menjelaskan kesungguhan dan kepastian perbuatan Tuhan juga menjelaskan tentang kesempurnaan kesucian mereka. Artinya bahwa mereka adalah orang yang paling suci pada zamannya.
  20. Penggunaan kata kerja dalam bentuk continous dan adanya (كُمُ) menjelaskan adanya pribadi-pribadi yang disucikan dalam setiap zaman.
  21. Kehendak Allah akan penyucian mereka, karena Allah dalam perbuatanNya memiliki tujuan yang mana tujuanNya adalah menjadikan mereka figur-figur dan tauladan bagi umat manusia.
  22. Karena mereka adalah orang-orang yang suci dalam prilaku, suci dalam spiritual maka pandangan mereka mampu tembus keseluruh alam jagat raya tidak terkecuali manusia. Sebagaimana perkataan Allamah Thaba’thaba’i mengatakan, “Akal itu jika telah melangit, maka ia akan tahu segala materi, dari sebelum adanya materi hingga setelah adanya dan hingga tidak adanya materi itu kembali”.(***)
  23. Untuk bisa mengenali mereka, ya kita diharuskan untuk memiliki kesenyawaan dengan mereka yaitu kesucian. Artinya untuk mengenali mereka perlu adanya “tazkiyatun nafs” yakni penyucian diri dulu pada diri kita masing-masing.
  24. Makna (يُذْهِبَ) dan (يُطَهِّرَ) dalam ayat itu bermakna bukan penolakan, bukan juga pengangkatan. Artinya, kalau pengangkatan itu mengangkat yang sudah ada, sedangkan penolakan menolak dari awal. (kaedah ilmu Nahwu)
  25. Kalimat (تَطْهيرا) adalah maf’ul muthlaq (atau objek dalam sebuah kalimat yang menunjukkan kesungguhan, yang menunjukkan pembicara itu sungguh-sungguh atau benar-benar menginginkan atau menghendaki yang diucapkan tersebut) yang ada dalam ayat tersebut menunjukan keagungan artinya penyucian yang ada dalam ayat ini bersifat khusus.
  26. Dari adanya kalimat (إِنَّما) sebagai kata untuk membatasi, ini menjelaskan bahwa Allah tidak punya kehendak lain kecuali mensucikan mereka.
  27. Kalimat (يُريدُ), kata kerja bentuk (إفعل) memiliki makna permohonan dan permintaan bersamaan dengan adanya ikhtiar dan pilihan.
  28. Di dalam ayat ini yang termasuk anggota Ahlul Bait adalah Nabi. Karena itu penyucian lahir-batin dan penolakannya memiliki kesamaan dengan anggota-anggota Ahlul Bait lainnya(Imam Hasan bin Ali, Imam Husain bin Ali, Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah). Karena untuk anggota-anggota Ahlul Bait yang lain memiliki makna yang berbeda, maka harus ada isyarat lain yang terpisah yang menjelaskan perbedaan tersebut. Dengan demikian ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan istri-istri Nabi. Ini jelas.
  29. Kalau Ahlul Bait ini termasuk Ahlul Bait nabi niscaya ayat itu tidak dibatasi dan tidak dikecualikan, karena ayat sebelumnya berbicara juga tentang istri-istri Nabi. Maka dari itu, Ahlul Bait di sini adalah khusus lima orang itu.
  30. Alquran tidak pernah menyebutkan istri-istri Nabi dengan sebutan Ahlil Bait. Dan hanya menyebutkan dengan panggilan “Wahai perempuan Nabi” atau (يانساءالنبي) atau “Wahai istri Nabi”.
  31. Istri Nabi sebagai Ahlil Bait Nabi dalam pengertian secara masyarakat umum bukan khusus. Artinya ketika kita membicarakan tentang keluarga maka ada ayah, ibu dan sebagainya. 
  32. Kalau Istri-istri nabi dimasukkan juga pada ahlul bait itu tidak sesuai dengan makna penyucian dari segala kotoran karena dalam surat yang lain istri-istri nabi pun ada juga yang menyakiti Nabi sehingga Allah mengancam untuk menceraikannya yang terdapat dalam surat At- Tahrim.



(*)   : QS. Al-Ahzab : 1-32
(**) : Lihat dalam :
- Shahih Muslim bab fadha`il Ahli bayti l`Nabiyy
- Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/147
- Sunan Al-Bayhaqi 2/149
- Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5
(***) : Dalam buku Bidayah Al-Hikmah pelajaran sebelas tentang knowledge, knower, and object.
(****): HR Al-Turmudzi 2:319

Referensi :
- Buku Angin Wilayah
- Buku Bidayah Al-Hikmah
- Shahih Muslim
- Al-Mustadrak 'ala Al-Shahihayn
- Tafsir Ibn Jarir Al-Thabari
- HR At-Turmudzi
Selengkapnya...

Sabtu, 10 Desember 2011

Tafsir QS. At-Taubah : 119

Ditulis oleh ALI MORTEZA

Tafsir QS. At-Taubah : 119


يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ كُونُوا مَعَ الصَّادِقينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan kemudian bersamalah kamu dengan orang-orang Shadiq.”

Tafsirnya :

  1. Ayat ini menjelaskan bahwasannya ada 3 kelompok manusia, yakni (آمَنُوا) atau orang beriman, (اتَّقُوا) atau orang bertakwa, (الصَّادِقينَ) atau orang Shadiq.
  2. Apabila kita ambil satu kelompok orang-orang dari tiga kelompok di atas. Yakni orang-orang yang beriman. Dalam ayat ini menjelaskan bahwa tidak setiap orang beriman itu bertaqwa. Sebagaimana kalimat (آمَنُوا اتَّقُوا) atau “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah”. Maka dapat dilihat bahwa orang beriman ini masih diperintahkan oleh Allah untuk bertakwa.
  3. Bahkan apabila kita melihat ayat yang lain juga, Allah memerintahkan orang beriman itu untuk beriman(*), sehingga bisa dikatakan, tidak setiap orang beriman itu beriman.
  4. Keimanan itu bertingkat-tingkat, tingkatan pertama adalah iman secara lisan atau perbuatan, tingkatan kedua adalah iman secara batin, dan tingkatan iman terakhir adalah iman secara lahir dan batin. Inilah kaedah akal.
  5. Panggilan (يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا) atau “Wahai orang-orang yang beriman” ini untuk semua orang yang beriman, tanpa terkecuali satupun dalam tingkatan orang beriman apapun, yakni baik beriman secara lisan maupun batin dan iman secara lisan-batin pun.
  6. Setiap orang yang telah menyatakan dirinya itu beriman, maka hendaknya ia meningkatkan dirinya untuk mencapai takwa. Sebagaimana perintah-Nya : (يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا) atau “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah”.
  7. Dalam meningkatkan kualitas keimanan itu tidak mengenal masa atau fase, karena itulah Allah memerintahkan secara langsung setelah beriman maka diperintahkan untuk bertaqwa. 
  8. Untuk menuju proses takwa, maka ada perjuangan tersendiri. Oh, mengatakan ada perjuangan tersendiri demikian ? kok bisa ? tahu darimana ? Jawabannya adalah, perjuangan tersendiri itu akan timbul ketika orang-orang beriman ini ingin melaksanakan perintah, yakni perintah untuk bertakwa.
  9. Lantas untuk mencapai ketakwaan itu sendiri bagaimana ? Perlu diketahui, bahwasannya ketakwaan itu tidak akan pernah bisa tercapai tanpa keberadaan Shadiqin. Ini adalah syarat pertama. Dan syarat kedua adalah keharusan orang-orang beriman itu untuk terus bersama dengan orang-orang Shadiq. Sebagaimana dalam ayat ini dijelaskan, kalimat pertama yang menunjukkan syarat pertama ini adalah “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah”. Lantas bertakwanya ini bagaimana ? Maka jawabannya ini adalah syarat kedua dalam kalimat kedua yakni “…kemudian bersamalah orang-orang yang Shadiq”.
  10. Loh, orang Shadiq itu siapa ? Jawabannya ada di no. selanjutnya. Hehehe
  11. Untuk mencapai tingkat takwa harus berawal dari mengenal Shadiqin, bener kan ? ya Dong. Ali . . . lanjut . .
  12. Pernyataan Al-Quran yang mengatakan “…bersamalah orang-orang Shadiq” ini menunjukkan kebersamaan yang bersifat batiniyyah alias tidak tampak, sehingga kebersamaan yang dimaksudkan ini tidak dibatasi ruang dan waktu. Karena jika memang bersama orang-orang Shadiq ini bersifat lahiriyyah, maka Tuhan harus menunjukkan siapa orang-orang Shadiq setiap waktu, setiap zaman, dan terus hingga kiamat, dan dari segi tempat, orang-orang Shadiq ini harus selalu ada di setiap tempat, kampung, dll. bahkan harus selalu satu kamar bersama, mandi juga bersama, gitu kah ? hehehe. Karena kan perintahnya harus selalu bersama, maka jika terlepas satu detikpun, maka ia sudah turun drajat menjadi orang yang beriman lagi deh. Duh, susah dan ribet ya perintah Tuhan ? Eh, maaf Boz, bukan Tuhan yang ribet, tapi orang yang berpikir bahwa perintah itu ditujukan untuk orang Shadiq secara lahiriyyah. Yaaaaa . . . sulit kan ? Makanya, kebersamaan di sini adalah bersifat batiniyyah. Yakni, hati, pikiran, dan jiwa ini haruslah mengikuti sebagaimana adanya orang Shadiq. Lantas orang Shadiq ini siapa ?
  13. Pribadi-pribadi orang Shadiq dalam setiap generasi umat manusia itu harus senantiasa ada, sebagaimana panggilan Allah kepada orang-orang beriman "Wahai orang-orang yang beriman" atau (يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا) dalam ayat tersebut tidak terbatas pada orang-orang dimasa Nabi saja.
  14. Ayat ini juga menjelaskan bahwa pribadi-pribadi orang Shadiq ini tertentu jumlahnya, mengapa ? Ya, karena Allah memang berhak menentukan. Karena, jika Allah tidak menentukan siapa orang Shadiq, maka orang beriman tidak akan pernah bisa bertakwa selama tidak ada orang Shadiq. Jadi, sebelum adanya orang beriman dan orang bertakwa, maka Allah sudah menentukan dahulu orang Shadiqnya, agar orang-orang beriman bisa menjadi orang bertakwa karena kebersamaannya dengan orang-orang Shadiq.
  15. Pribadi orang Shadiq adalah pribadi manusia sempurna tidak sekedar hanya ditentukan dan ditugaskan untuk ada menunggu orang-orang beriman yang ingin naik tingkat menjadi orang-orang bertakwa saja. Ya jelaslah, bahwa orang Shadiq ini haruslah sempurna jauh daripada orang beriman, karena orang Shadiq ini yang selalu diikuti oleh orang-orang beriman sepanjang zaman.
  16. Dari ayat ini juga diketahui bahwasannya, kelompok orang beriman dan kelompok orang bertakwa ini tidak akan mungkin dan juga tidak akan pernah menjadi kelompok orang Shadiq. Karena orang Shadiq ini adalah orang-orang pilihan Allah dan telah ditetapkan oleh Allah sebelum adanya orang-orang beriman dan sebelum adanya orang beriman yang telah menjadi orang bertakwa.
  17. Orang Shadiq ini adalah orang-orang yang akan menjelaskan spiritual juga akan menjelaskan tentang tugas. Loh kenapa begitu ? Ya, karena maqam ini hanya mereka yang bisa mencapai. Yakni, maqam atau tingkatan orang-orang sempurna yang akan diikuti oleh orang beriman. Karena diikuti, mereka orang Shadiq ya haruslah menjelaskan apapun itu secara spiritualitas dan harus juga menjelaskan apa saja tugas-tugas untuk orang-orang beriman dan bertakwa. Benar kan ? Ya dong, Ali.
  18. Dalam ayat ini juga diketahui, bahwa Allah itu memerintahkan orang-orang beriman itu bertakwa. Sudah sepakat ? Ok, lanjut. Kemudian kita lihat, Allah dalam ayat ini tidak mengatakan “…bersamalah orang-orang Shadiq” atau (وَ كُونُوا مَعَ الصَّادِقينَ), yakni menggunakan kata (مَعَ) atau “bersama”, bukan mengatakan “…menjadilah orang-orang Shadiq” atau ( كُونُوا مِنْ الصَّادِقينَ), yakni menggunakan kata (مِنْ). Sehingga dari sini bisa dilihat, bahwa orang Shadiq ini tidak akan pernah ada lagi yang baru, karena Allah telah menentukan itu. Dan wajib atas orang beriman mengetahui siapa orang Shadiq pada zamannya.
  19. Maka, orang Shadiq ini pastilah memiliki maqam ma’shum, yakni tidak ada kesalahan sekecil apapun, itu salah satunya dan wajib sempurna.
  20. Maka, orang Shadiq pada zaman dahulu ketika zaman Nabi SAWW, maka nampaklah ahlulbait, sedangkan saat ini dan di zaman ini adalah Al-Imam Al-Mahdi.




-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
(*) : Dalam QS. An-Nisa’ : 136 yang berbunyi :



يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللهِ وَ رَسُولِهِ وَ الْكِتابِ الَّذي نَزَّلَ عَلى‏ رَسُولِهِ وَ الْكِتابِ الَّذي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَ مَنْ يَكْفُرْ بِاللهِ وَ مَلائِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُلِهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً بَعيداً



Yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”



Sumber : http://karya-ali-mortezaعلى-مرتضى--.com Selengkapnya...

Jumat, 09 Desember 2011

Tafsir QS. An-Nisa : 59 Ditulis oleh ALI MORTEZA

Ditulis oleh ALI MORTEZA

Tafsir QS. An-Nisa : 59


يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَطيعُوا اللهَ وَ أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ في‏ شَيْ‏ءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ وَ أَحْسَنُ تَأْويلاً

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.


Tafsirnya :

  1. Allah menyuruh kepada setiap orang yang beriman dengan berbagai tingkatannya
  2. آمَنُوا disini tidak hanya pada zaman nabi, karena adanya perintah kepada orang-orang beriman yakni bertaqwalah(*), berimanlah(**), dan taatlah kalian(***) dst.
  3. Tidak setiap orang beriman itu ta’at kepada Allah karena itu orang beriman masih diperintahkan ta’at kepada Allah, begitu juga terhadap Rasul(**), maka mutlak harus ta'at pula kepada Ulil Amr. Karena perintah untuk ta’at di sini memang bersifat mutlak baik pada Allah, Rasul maupun pada Ulil Amr.
  4. Objek yang harus dita’ati oleh orang-orang yang beriman itu telah jelas di dalam ayat An-Nisa' : 59 ini, yakni objek yang harus ditaati adalah Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amr.
  5. Ayat ini sudah sangat jelas memerintahkan untuk mentaati tiga objek (Allah, Rasul, dan Ulil Amr). Karena, jika perintahnya tidak jelas, maka akan menyebabkan kesalahan bagi yang orang beriman yang diperintahkan untuk melaksanakan perintah itu. Dalam ayat itu diperintahkan untuk ta'at, maka jelas haruslah ta'at.
  6. Sebagaimana keta’atan kepada Rasul, ini telah jelas siapa subjeknya yakni Rasul. Maka ta'at kepada Ulil Amr pun juga harus jelas siapa objeknya.
  7. Dalam ayat An-Nisa' : 59 ini, Allah sudah sangat jelas menentukan batasan-batasan perintah yang harus dita'ati itu siapa. Pada ayat ini Allah menentukan objek itu adalah Allah sendiri dan Rasul-Nya. Maka, kedua objek itu sudah jelas. Akan tetapi, bagaimana dengan Ulil Amr ? Maka Allah-pun juga wajib mutlak harus menentukan siapa juga siapa yang termasuk objek kategori Ulil Amr itu.
  8. Secara keilmuan, spiritual, dan apapun kesemuanya yang ada pada Rasul, haruslah ada dan sama-sama dimiliki oleh Ulil Amr, karena itu Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk ta'at kepada Ulil Amr juga. Dan jika dilihat dari kesempurnaan Ulil Amr, maka Ulil Amr yang dimaksud sezaman dengan orang-orang yang beriman pun haruslah sempurna juga. Sedangkan orang-orang beriman itu tidak hanya ada pada zaman Rasul saja, sampai detik ini pun banyak orang-orang yang beriman. Lantas dimana Ulil Amr sebagai manusia yang sempurna itu ? Tentunya wajib ada, dan pasti ada pada zaman kita sekarang. Atas kesempurnaan Ulil Amr pada zaman kita saat ini menjadikan orang tidak sempurna (kita) ini tidak mampu mengetahui ketampakannya. Akan tetapi, dialah Ulil Amr zaman kita saat ini. Karena ayat An-Nisa' : 59 ini telah menjelaskan harus ada Ulil Amr untuk dita'ati oleh orang beriman. 
  9. Dengan demikian Ulil Amr bukan lagi termasuk آمَنُوا (orang-orang yang beriman), karena Ulil Amr ini adalah orang yang dita'ati oleh orang beriman. Jika kita adalah seorang anak, maka kita punya ayah secara nampak atau tidak. Maka adanya Ayah secara nampak atau tidak, yaaa . . . kita WAJIB dan TETAP harus ta'at, bukan ?
  10. Kalau Ulil Amr yang dimaksud itu dipaksakan masuk dalam bagian kategori آمَنُوا (orang-orang beriman), maka pernyataan An-Nisa' : 59 ini dan Allah seharusnya memanggil "Wahai orang-orang yang beriman" atau أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا itu tidak tepat, karena setiap individu nantinya akan menjadi Ulil Amr. Dan itu mustahil, karena Ulil Amr sebagaimana pada penjelasan sebelumnya di atas, Ulil Amr ini ditentukan oleh Allah sehingga ia sempurna memiliki kesamaan (satu dalam kesatuan) dengan Rasul. Karena Rasul pun ditentukan oleh Allah.
  11. Perintah ta'at kepada Allah itu memang bersifat mutlak, begitu juga perintah ta'at kepada Rasul dan Ulil Amr ini bersifat mutlak pula. Dan perintah ta'at secara mutlak ini akan mengharuskan kema'shuman orang yang dita'ati oleh orang beriman, dan itu pun juga secara muthlak harus ma'shum Ulil Amr ini.
  12. Ulil Amr adalah orang yang memiliki ma'rifat kepada Allah yang paling tinggi setelah Rasul, karena tugas Ulil Amr adalah mengantarkan orang-orang yang telah beriman ini menuju ma'rifat Allah.
  13. Dalam ayat An-Nisa' : 59 ini, pada kata أَطيعُوا tidak diulang lagi pada Ulil Amr sebagaimana pada Rasul dan Allah, yakni sebagaimana kalimat berikut أَطيعُوا اللهَ وَ أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ. Ini menjelaskan adanya kesamaan (sinkhiyyat) antara Ulil Amr dan Rasul, sehingga ta'at kepada Rasul ini sama dengan ta'at pula kepada Ulil Amr, sehingga kalimatnya hanya أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ. Karena kata أَطيعُوا ini hanya ada pada Allah dan Rasul, karena untuk membedakan keta'atan dari sisi dzat. Allah adalah Pencipta, sedangkan Rasul dan Ulil Amr adalah yang dicipta.
  14. Sebagaimana jika orang itu tidak-ta’at kepada Ulil Amr, maka akan sama dengan orang tersebut tidak-ta’at kepada Rasul. Sehingga, orang tersebut juga tidak-ta'at kepada Allah.
  15. Adanya kata مِنْكُمْ atau "dari kalian (kalian orang-orang yang beriman)" ini menjelaskan bahwa Ulil Amr ini dalam setiap zaman harus wajib ada.
  16. Sedangkan Ulil amr adalah orang yang paling mengetahui hukum-hukum Allah karena dia adalah pembawa misi risalah Allah setelah Rasul-Nya. Karena Ulil Amr itu wajib satu kesatuan ma'rifatnya dengan Rasul-Nya.
  17. Yang membedakan antara Ulil Amr dan Rasul adalah : Rasulullah adalah orang yang meletakkan kebenaran pertama dan Ulil Amr adalah pelanjutnya.

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
(*) : Terdapat dalam QS. At-Taubah : 9, yang berbunyi : يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ كُونُوا مَعَ الصَّادِقينَ. Yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan bersamalah dengan orang-orang Shadiqin
(**) : Terdapat dalam QS. An-Nisa' : 136, yang berbunyi : يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللهِ وَ رَسُولِهِ وَ الْكِتابِ . Yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman, teruslah beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan Kitab
(***) : Terdapat pada QS. An-Nisa' : 59, yang berbunyi : يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَطيعُوا اللهَ وَ أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ. Yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman ta'atlah kepada Allah, Rasul-Nya, dan Ulil Amr

Referensi :
1. Kitab "Angin Wilayah" Thaba'thaba'i (sekaligus diterjemahkan dari bahasa persia ke dalam bahasa Indonesia)
2. Analisa Penulis

Selengkapnya...