Maaf, area blog ini tidak dapat di Klik Kanan. Terimakasih Telah Berkunjung di PUSTAKA-ALI. By Ali Morteza Pustaka - Ali: TEORI-TEORI PENGETAHUAN
. . . SELAMAT DATANG DI BLOG Pustaka - Ali” . . . . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . .

Minggu, 16 Oktober 2011

TEORI-TEORI PENGETAHUAN

TEORI-TEORI PENGETAHUAN

Oleh : Ali Morteza

Skeptisisme

Skeptisisme ini memiliki satu landasan yaitu pikiran manusia tidak dapat mencapai kebenaran objektif. Sehingga skeptisisme ini menyatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang sempurna sebagai dunia objektif, yang mana dunia itu yang merupakan bagian dari yang mengetahui atau empirisnya. Dan pengetahuan itu sendiri, menurut skeptisisme ini meragukan, bahkan skeptisisme ini membatasi pengetahuan, dengan pernyataan bahwa pengetahuan itu hanya sebatas pada data inderawi dan asosiasinya. Sebagaimana Hume mengatakan bahwa pengetahuan dan realitas itu hanya sebatas arus persepsi sehingga pengetahuan dan realitas ini hanya sebagai kesan dan ide-ide saja.

Adapun macam-macam dari Skeptisisme, sebagai berikut :
1. Solipsisme yang berpendapat dengan pernyataannya “saya ada karena saya tidak tahu dunia dibalik diri dan ide-ide saya sendiri” sehingga ini membawa pada kesan egosentrik saja.
2. Skeptisisme Sensori yaitu dari kata Sensasi yang artinya adalah sesuatu yang relatif, karena ia merupakan modifikasi dari yang mengetahui.
3. Skeptisisme rasional yaitu kesimpulan suatu alasan
4. Skeptisisme Metodologis yakni keraguan sistematis tetapi tentatif, sebagaimana Metode Cartesian
Metode Cartesian ini mensyaratkan empat aturan sebagai pedoman dalam proses opini menjadi sains yaitu :
1. Tidak pernah menerima sesuatu sebagai kebenaran kecuali telah jelas dan mutlak.
2. Menganalisis atau mereduksi problem kepada bagian yang dapat dipecahkan kembali.
3. Mengorganisir particular ke dalam pengetahuan general.
4. Mengecek demi kesempurnaan dan kasus negatif.

Namun pernyataan skeptisisme di atas tersebut dapat terbantahkan dengan argumentasi, bahwa skeptisisme meyakini bahwasannya pengetahuan sempurna ataupun dunia objektif itu tidak dapat dicapai, karena landasan Skeptisisme ini adalah dengan meragukan, maka dengan keyakinannya terhadap keraguan dalam pengetahuan yang sempurna ataupun dunia objektif itu, justru sebenarnya adalah meragukan keyakinannya sendiri. Bagaimana ia meyakini bahwa ia ragu untuk mencapai pengetahuan yang sempurna atau dunia objektif ini. Sehingga di sini dapat ditangkap bahwa Skeptisisme ini berpendapat bahwa secara objektif manusia itu tidak dapat mengetahui kebenaran objektif, yakni, ia yakin bahwa ia tidak dapat yakin. Maka inilah kesalahan dalam cara pandang Skeptisisme ini, sebagaimana argumentasi yang telah penulis ungkapkan dalam paragraf ini. Dan juga sebagaimana yang ada pada QS. Yunus [10] : 36, yang berbunyi :
“…padahal sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran…”
Dari ayat tersebut, kita bisa mendapatkan pemberitahuan mengenai persangkaan. Perlu ditekankan bahwasannya persangkaan itu juga keraguan, sebagaimana menyangka-nyangka ataupun menduga-duga. Sehingga Skeptisisme di sini terbantahkan juga oleh ayat tersebut yang menyatakan bahwa meragukan itu tidak akan sedikitpun bisa digunakan untuk mencapai kebenaran. Dan pada ayat yang lain, Tuhan memperjelas sekaligus memberi penekanan terhadap kebenaran ini, dalam QS. An-Nisa’ [4] : 105, yang berbunyi :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antar manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”
Dari ayat di atas, ini menunjukkan bahwasannya kebenaran itu sudah ada dalam Al-Quran sebagaimana pada ayat tersebut di atas, sehingga bagaimana lagi argumentasi dari Skeptisisme ini untuk bisa selalu meragukan segala hal sehingga berpendapat bahwasannya pengetahuan yang sempurna itu tidak dapat dicapai, sedangkan dalam ayat tersebut, Al-Quran ini membawa kebenaran. Ketika kita mengambil metode dari aliran rasionalisme ataupun idealisme (aliran pemikiran yang mementingkan akal), maka akan ada argumentasi bahwa kebenaran itu bisa dicapai dengan pengetahuan yang sempurna, sedangkan Al-Quran ini membawa kebenaran, maka Al-Quran ini berisi penuh dengan pengetahuan yang sempurna.

Sehingga dari sini, teori dari Skeptisisme ini terbantahkan dengan adanya ayat Al-Quran sebagaimana telah disebutkan di atas. Dan juga, jika kita mau meninjau dari landasan Matematik, maka sudah sangat jelas bahwasannya tidak bisa pengetahuan itu tidak sempurna, karena dalam Matematik adalah ilmu yang pasti, sehingga memberikan kesempatan untuk menjawab yaitu hanya terbatas pada dua jawaban saja, salah dan benar, dan ilmu ini semua orang telah menyepakati akan hal itu.

Namun bisa Skeptisisme ini bisa diambil positive thinkingnya juga, karena dalam realitas, bagaimana mungkin kita hidup selalu dalam kepastian tanpa adanya rasa ragu ? maka dari sinilah kita harus bisa membatasi diri untuk bisa hidup dalam keraguan, yang mana dengan adanya keraguan dan penolakan, kita akan mendapatkan kebenaran sebagaiaman ukuran akal dan pengetahuan kita. Sebagaimana dalam ayat yang telah disebutkan di atas QS. Yunus [10] : 36, yang berbunyi :
“…padahal sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran…”
Ini bukanlah sebagaimana kebenaran itu tidak dapat dicapai dengan persangkaan, melainkan kita harus menafsirkan lebih dalam, agar firma Allah ini tidak bertentangan dengan akal sehat manusia, sebagaimana derajat Al-Quran sendiri akan runtuh dari kesempurnaannya dan juga apa-apa yang ada di dalamnya, apabila ternyata kita menemukan ayat yang bertentangan dengan akal sehat. Bukanlah Al-Quran yang salah, namun akal kita lah yang harus mencapai kebenarannya. Sebagaimana dalam QS. Al-Qadr [97] : 1, yang berbunyi :
“Bahwasannya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada waktu malam Qadr”
Jika kita mengambil kebenaran ayat ini dengan akal sehat, maka akan muncul kata “tidak mungkin Al-Quran turun”, pasti akan muncul banyak pertanyaan, salah satunya adalah “Emangnya Al-Quran ada di atas, dan kemudian turun ? ataukah turun itu dari langit ke bumi ? apakah Tuhan ada di langit ? dst.” Maka ini akan bertentangan dengan akal sehat jika kita tidak mampu mencapainya. Kebenaran dalam ayat tersebut adalah, bukan Al-Quran yang turun, tetapi derajat dari hakikat Al-Quran itu sendiri, sehingga Nabi Muhammad mampu memberikan keluasan isi Al-Quran tersebut kepada semua umat. Jika derajat hakikat Al-Quran masihlah tetap menjadi derajat hakikat Al-Quran dalam derajat Tuhan, maka bagaimana umat akan bisa menerima hakikat yang sangat jauh antara hakikat manusia sebagaimana ciptaan dengan Penciptanya ? maka dari sinilah kita bisa mengambil kebenaran Al-Quran yang seukuran dengan akal kita.
Adapun persangkaan yang dimaksud dalam QS. Yunus [10] : 36 adalah suatu persangkaan yang mana timbulnya dari orang yang tidak mau mencari pengetahuannya dahulu sebelum mempersangkakan. Sebagaimana QS. Al-Isra’ [17] : 36, yang berbunyi :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”
Sehingga, carilah pengetahuan tentang hal yang akan kita lakukan, kemudian setelah kita mengetahui, maka persangkakanlah pengetahuan tersebut sebelum berbuat. Maka timbulnya pertanyaan-pertanyaan itu adalah akibat dorongan persangkaan tersebut. Maka dari sini bisa dipetik bahwasannya hubungan antara Al-Quran dengan Skeptisisme ini korespondensi. Dan dari sini dapat dipetik bahwasannya meragukan pengetahuan adalah jalan untuk mencapai kebenaran sehingga perbuatan yang akan dilakukan berdasarkan pengetahuan yang telah diragukan dan kemudian mendapatkan kebenarannya.

Subjektivisme sebagai Idealisme Subjektif

Subjektivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu terbatas, yang mana hanya ada pada ide-ide dalam pikiran orang yang mengetahui saja, sehingga tidak bisa mengetahui apa yang ada dibalik ide-ide orang yang mengetahui tersebut yakni yang berstatus sebagai sesuatu yang objektif ataupun realitas material (tidak bergantung pada siapa yang mengatakan).
Sehingga di sini Subjektivisme merumuskan :
Persepsi dan sesuatu yang diketahui adalah satu (monisme epistemologis),
“yang diketahui” ini hanya ada dalam ide-ide orang yang mengetahui (idealisme epistemologis) saja,
Sehingga diasumsikan bahwasannya dunia ini hanya terdapat pada orang yang mengetahui saja, sehingga menurut Stace,”Jika objek fisik itu ada ketika tidak ada orang yang mengobservasinya, maka kita tidak punya alasan untuk mengatakan bahwa objek tersebut menyebabkan tidak seorangpun dapat mengobservasinya sebagai sesuatu yang tidak dapat dijangkau” Pendapat ini menginterpretasikan bahwasannya sesuatu yang diketahui itu ada dan hanya sebatas ide-ide orang yang mengetahui saja (“tidak ada orang yang mengobservasinya”), maka dari situlah tidak dapat dikatakan bahwa “tidak seorangpun dapat mengobservasinya”, ini terjadi karena memang keterbatasan pengetahuan orang mengenai “objek fisik” tersebut hanya ada pada ide-ide orang yang mengetahui saja. Sedangkan Berkeley mengatakan,”untuk disebut ada berarti merasakan dan dirasakan” Pernyataan Berkeley mengenai “merasakan” dan “dirasakan” yakni dengan argumentasi sebagai berikut :
Persepsi itu tidak ada yang tidak dirasakan
Objek fisik itu persepsi kompleks
Maka, objek fisik itu tidak ada yang tidak dirasakan.

Interpretasi dari Berkeley ini menunjukkan bahwasannya persepsi ini tidak ada yang tidak dapat dirasakan, sedangkan Tuhan di dalam teori Berkeley ini adalah sebagai objek fisik, maka Tuhan tidak dapat dirasakan. Teori ini didukung oleh QS. Ikhlas : 1, yang berbunyi :
“Dia-lah Allah yang Esa”
Maka ayat tersebut menerangkan bahwasannya Allah itu Esa, dan Allah ini yang ada dalam persepsi, sehingga Allah di sini tidak mungkin tidak dapat dirasakan, sedangkan “Dia” itu sendiri adalah Objek Fisik-nya dalam teori ini. Sebagaimana apabila kita memanggil nama kucing, maka sudah berbeda antara “kucing” dengan “bentuk kucing” dalam realitasnya, sehingga teori yang dikemukakan oleh Berkeley ini bisa diterima oleh Al-Quran.

Objektivisme

Objektivisme ini sebagaimana pada paragraf pertama bab “Subjektivisme sebagai Idealisme Subjektif” di atas, Objektivisme ini menganut kepercayaan suatu pernyataan pertama yang mengatakan bahwa objek itu tidak bergantung pada pikiran dan pernyataan yang kedua yaitu objek itu juga tidak bergantung pada segala hal yang berkaitan dengan objek tersebut yang mana objek tersebut ada secara langsung pada ide-ide dalam pikiran orang yang mengetahui melalui perantara data indrawi. Sehingga Objektivisme ini merumuskan bahwasannya sesuatu yang diketahui dan data indrawi itu satu (realisme epistemologis) yang berstatus sebagai persepsi dan sesuatu yang diketahui itu satu (monisme epistemologis) sebagaimana rumusan yang ada pada bab Subjektivisme sebagai Idealisme Subjektif di atas.

Teori ini merupakan teori yang juga dijelaskan dalam Al-Quran yakni mengenai sesuatu yang ada diluar pikiran manusia, sehingga ketika sesuatu itu kita ambil untuk distatuskan sebagai objek, dan sebagaimana dalam kepercayaan Objektivisme ini yaitu objek tidak bergantung kepada pikiran sehingga objek itu independen dan apapun yang terkait dengan objek tersebut juga tidak bergantung pada pikiran sekalipun objek tersebut hadir secara langsung pada orang yang mengetahui (knower) melalui data indrawi. Bahwasannya objek ini adalah independen statusnya, sehingga bukanlah objek sebagaimana yang ada dalam pikiran ataupun orang yang mengetahui saja.
Sebagaimana dalam Al-Quran dijelaskan mengenai hal itu, yakni dalam QS. Ath-Thûr [52] : 35, yang berbunyi :
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri) ?”
Ini menjelaskan bahwasannya ada dua hal yang penting dalam hal ini, yaitu, ada sesuatu yang sebagai Pencipta dan ada yang sebagai yang diciptakan, sesuatu itu kita bisa sebut sebagai objek, sehingga ada dua objek dalam hal ini. Nah, apabila kita melihat bahwasannya objek pertama yakni sebagai Pencipta dan objek kedua adalah sebagai ciptaan. Dari sini terbangun suatu interpretasi bahwasannya Pencipta ini sudah berbeda dengan ciptaan, namun, di sini Pencipta dalam kategori gaib yakni tidak nampak dan sehingga dijadikan sebagai data indrawi, maka dari sinilah kita harus melepaskan status Pencipta yang terus-menerus dipaksakan oleh ciptaan untuk bisa masuk dalam ide-ide yang ada dalam pikiran maupun masuk hanya sebatas data indrawi saja. Maka ini kesalahan, bahwasannya ada yang tidak dapat masuk dalam data indrawi sebagaimana Pencipta yang gaib ini. Sebagaimana dalam teori Objektivisme bahwasannya objek itu independen dan tidak dapat dimasukkan dalam kategori sesuatu yang diketahui dan juga dimasukkan dalam kategori data indrawi. Alasan pertama adalah sesuatu yang diketahui dan data indrawi ini bergantung pada pikiran, sebagaimana sesuatu yang diketahui yang tidak dapat terlepas dengan indrawi sehingga berujung dengan sesuatu yang tidak terlepas dengan pikiran. Sebagaimana berikut :
Sesuatu yang diketahui - - - - - - - dirasakan - - - - - masuk dalam pikiran - - - - menjadi ide-ide yang ada dalam pikiran
Data indrawi - - - - - - - - - - - - - - - dirasakan - - - - - masuk dalam pikiran - - - - menjadi ide-ide yang ada dalam pikiran
Sehingga dari rumus saya di atas yang mana saya buat atas dasar reinterpretasi dari teori Objektivisme ini sebagai penekanan, interpretasi ini menunjukkan bahwasannya data indrawi dan sesuatu yang diketahui ini adalah satu, yang mana keduanya sama-sama terkumpul dalam pikiran. Nah, ini bukanlah Objek Fisik yang dimaksud, bahwasannya teori Objektivisme ini justru memberikan penjelasan kepada kita bahwasannya Objek Fisik ini harus keluar dari pikiran, karena Objek Fisik ini harus independen dan justru ini yang benar sebagaimana dalam QS. Ath-Thur [52] : 35 tersebut.

Realisme Epistemologis
a. Sebagaimana rumus di atas yang saya buat, bahwasannya segala peran (data indrawi dan sesuatu yang diketahui itu masuk dalam pikiran untuk mengetahui.
b. Percaya bahwa pikiran ini mampu mengetahui sesuatu yang independen bukan hanya ¬ide-ide saja.
c. Memiliki kepercayaan bahwasannya berbeda antara yang mengetahui (knower) dan sesuatu yang diketahui ini.
d. Percaya bahwa yang mengetahui (knower) ini berada dalam dunia, dan
e. Mengajarkan bahwa sesuatu yang diketahui itu terus-menerus ada dan tidak berubah ketika ia belum tersingkap (Montague).
f. Walaupun tidak ada orang yang mengobservasi semua benda fisik yang ada, akan tetapi tetap kita tidak akan bisa beralasan bahwa benda-benda itu tidak ada dan tidak dapat disingkap (pendapat Russell)

Bentuk-bentuk Objektivisme (sebagai Realisme Epistemologis)
1. Realisme naif atau pendapat umum menyatakan bahwasannya sesuatu itu dirasakan seperti apa adanya.
2. Neorealisme menyatakan bahwasannya dunia objektif yang dikenal adalah netral; yakni terdiri dari entitas mental dan materi, termasuk hubungan objektif (Moore, Russel, Alexander, Broad, dll). Sebagaimana dalam QS. Ar-Rahman [55] : 6, yang berbunyi :
“Tumbuh-tumbuhan dan pepohonan bersujud kepada-Nya”
Ini menunjukkan bahwasannya dunia objektif yang biasa dikenal dengan netral ini adalah terdiri dari dua unsur. Sebagaimana pada rumus di bawah ini :

Netral = Entitas Mental dan Materi.

Maka rumus ini berhubungan dengan QS. Ar-Rahman [55] : 6 sebagaimana di atas, yaitu tumbuh-tumbuhan dan pepohonan itu bersujud kepada-Nya, ini bukanlah kata-kata yang tidak memiliki arti, ini sungguh sangat memiliki makna yang sangat mendalam. Jika kita melihat pada realitasnya, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan ini tidak mampu bergerak ataupun bersujud, namun bukanlah sujud sebagaimana cara pandang manusia, tumbuhan dan pepohonan ini bersujud juga dari sudut pandang pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, mengapa demikian ? Jika kita mencermati tumbuh-tumbuhan dan pepohonan, maka kita akan mendapati mereka mampu hidup dan terus tumbuh walau hanya terlihat diam. Ini menunjukkan bahwasannnya tumbuhan ini terdiri atas dua, yaitu apa yang tidak dapat diindrakan dan apa yang dapat diindrakan. Maka apa yang tidak dapat diindrakan inilah yang membuatnya tumbuh dan itu juga yang dimaksudkan bersujud, sedangkan apa yang dapat diindrakan ini adalah apa-apa yang memiliki ukuran dari tumbuh-tumbuhan dan pepohonan tersebut, sehingga dapat dikatakan tumbuh dan berubah. Maka yang tidak dapat diindrakan ini adalah entitas mental (dalam teori Neorealisme) dan yang dimaksudkan apa yang dapat diindrakan ini adalah materi (dalam teori Neorealisme). Sehingga yang dimaksud dalam QS. Ar-Rahman [55] : 6 mengenai tumbuh-tumbuhan dan pepohonan itu sujud telah jelas maknanya, sebagaimana yang ada pada teori Neorealisme ini.
3. Neomaterialisme menyatakan bahwasannya dunia objektif yang dikenal adalah bersifat material (Montague, Woodbridge, dll). Pernyataan ini sama halnya dalam QS. An-Nahl [16] : 96 yang berbunyi :
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal”
Maka dari ayat ini menunjukkan bahwasannya ada dua dunia objektif, yakni dunia objektif yang tidak kekal, yakni materi dapat diindrakan dan memiliki ukuran (sebagaimana pada teori Neorealisme di atas ) dan dunia objektif yang tidak dapat diindrakan (data indrawi atau sesuatu yang diketahui sebagaimana pada teori Objektivisme). Namun, kedua dunia objektif tersebut adalah bersifat material sebagaimana pernyataan Neomaterialisme ini. Bahwa hal yang dapat diindra maupun tidak, keduanya tetap akan masuk dalam kategori material. Karena yang dimaksud “apa yang di sisimu akan lenyap” pada ayat tersebut adalah yang dapat diindrakan, dan “apa yang ada di sisi Allah akan kekal” ini yang dimaksudkan adalah akal itu sendiri.
4. Neothomisme menyatakan riil yang independen diketahui melalui pikiran riil yang juga independen (Mascall, Copleston, dll).

Bentuk-bentuk Objektivisme (sebagai Idealisme Epistemologis)
Bagi Idealisme Objektif, dunia objektif itu adalah mental namun bersifat Objektif saja, yakni kebebasan orang yang mengetahui (knower), karena mental adalah milik orang yang mengetahui (knower) saja atau dunia pikiran saja (Hegel, Green, Bradley, Bosanquet, Royce, Blanshard, dll).
Perbedaan antara Idealisme Objektif dengan Idealisme Subjektif ini adalah sebagai berikut :
Idealisme Objektif : Mengajarkan adanya hanya satu pikiran saja secara mutlak (Monisme), di mana pikiran itu terbatas pada orang yang mengetahui saja dan itu adalah manifestasi.
Idealisme Subjektif : Mengajarkan adanya banyak pikiran orang-orang yang mengetahui.

Realisme Kritis atau Representatif
Realisme Kritis atau Representatif (dualisme Epistemologis) menganggap peran kritis berasal dari pikiran dalam memformulasikan pengetahuan. Sehingga di sini dibedakan antara data indrawi dengan objek yang direpresentatifkan (dualisme epistemologis), dan objek atau sesuatu yang diketahui itu lepas dari pikiran maupun orang yang mengetahui (knower). Sehingga pemikiran itu didasarkan pada pikiran atau orang yang mengetahui (knower) saja, melainkan juga data indrawi ataupun ide-ide dari orang yang mengetahui, yakni ide untuk merepresentasikan objek.
 

Dualisme Epistemologis: data indrawi dan sesuatu yang diketahui dibedakan. Objek adalah sesuatu yang diketahui secara langsung melalui data indrawi.

Bentuk-bentuk Realisme Kritis atau Representatif (Dualisme Epistemologis)
• Realisme Representatif yakni suatu ide merepresentasikan atau berkorespondensi (berkesesuaian antara pernyataan dengan objek) dengan objek dari dunia yang independen (yakni dunia yang lepas dari pikiran atau orang yang mengetahui), maka apabila pernyataan dalam Realisme Representatif ini sesuai dengan Objek Independen, maka benarlah pernyataan itu dalam Korespondensi. Kualitas Objektif atau utama dari suatu objek yang melahirkan Kualitas Subjektif atau kedua. Kualitas-kualitas itu meliputi pengetahuan (Democritus, Galileo, Keppler, Descartes, Locke, Macintosh, dll).

Maka, argumentasi Descartes mengatakan Realisme Representatif, sebagai berikut :
a. Tuhan itu ada; yakni bahwa ide secara jelas dan khusus tentang Tuhan mengisyaratkan keberadaanNya seperti halnya bahwa ide segitiga menunjukkan tiga sudut yang dimilikinya. Ini masuk dalam pembahasan Ontologis, yakni teori mengenai masalah ada dan realitas.
b. Tuhan secara definisi adalah sempurna, baik hati;
c. Kebaikan Tuhan tidak akan membiarkan kita tidak memiliki pedoman untuk mengetahui dunia,
d. Pedoman ini adalah nalar, yakni intuisi (meyakini bahwa ada yang di atas akal da indra) dan deduksi;
e. Jika ide itu jelas dan bersifat khusus, maka itu artinya sudah benar;
f. Jika ide itu benar, maka ia menjelaskan apa yang ada;
g. Dunia eksternal yang tidak memiliki apa-apa kecuali kualitas prima adalah dunia yang dapat dianalisis secara matematis dan dapat terpahami secara jelas;
h. Karena itu, dunia eksternal tidak memiliki sesuatu kecuali kualitas prima.

• Realisme Kritis meyakini bahwa Objek Material itu diketahui melalui data indrawi. Pengetahuan tentang benda riil yang independen adalah sesuatu yang niscaya melalui keterlibatan bersama antara orang yang mengetahui (knower) dengan sesuatu yang diketahui dalam essensinya. Benda material diketahui secara langsung oleh keyakinan binatang (Santayana, Lovejoy, dll)

Personalisme

 
Personalisme (Idealisme Personal) merupakan Dualisme Epistemologis yang menggabungkan unsur Objektivisme dan Subjektivisme, Realisme dan Idealisme. “Keadaan yang dialami dengan keadaan yang diyakini”. Objektivisme ini adalah percaya bahwa Objek itu independen, sehingga “keadaan yang dialami” ini Objek Independen, dan Subjektivisme ini meyakini bahwa ide-ide itu terbatas dalam pikiran dan orang yang mengetahuinya saja, sehingga “keadaan yang diyakini” ini adalah ide-ide yang terbatas dalam pikiran dan orang yang mengetahui saja. Begitu juga Realisme ini meyakini bahwa Objek itu dipanca indra, sehingga “keadaan yang dialami” itu adalah Objek yang telah dipanca indra, sedangkan Idealisme meyakini bahwa Objek itu dijangkau oleh akal, sehingga “keadaan yang diyakini” itu adalah Objek yang dijangkau oleh akal.

Neo-Thomisme

Menurut Mascall, Martain, Gilson, Copleston, dll., data indrawi merupakan maksud “yang diserap akal secara langsung bahkan melalui perantara aktivitas, realitas ekstramental yang dapat dipikirkan, yang mana itu merupakan benda yang sesungguhnya” (Mascall)

Referensi :
1. Filsafat Barat
2. Al-Quran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Comment Blog ini untuk dijadikan sebagai editan baru demi kelengkapan isi dalam blog ini