Maaf, area blog ini tidak dapat di Klik Kanan. Terimakasih Telah Berkunjung di PUSTAKA-ALI. By Ali Morteza Pustaka - Ali: Kisah Asyuro
. . . SELAMAT DATANG DI BLOG Pustaka - Ali” . . . . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . . Selamat Menikmati . . .

Rabu, 30 November 2011

Kisah Asyuro

Dikutip oleh : Ali

Kamis 9 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain bin Ali bin Ali Thalib dikepung pasukan angkara murka Yazid bin Muawiah yang zalim. Pasukan dikerahkan dari Kufah ketika beliau dalam perjalanan selamaberhari-hari dari Mekkah di Hijaz menuju Kufah di Irak. Beliau ke Kufah demi memenuhi undangan dan janji penduduk kota itu untuk berperang melawan Yazid dan antek-anteknya yang zalim dan tiran. Namun, saat beliau menjalani misi itu, penduduk Kufah ternyata ingkar janji akibat gencarnya tekanan pihak musuh yang berada di Kufah di bawah pimpinan Ubaidillah bin Ziyad, gubernur pemerintahan Yazid yang berbasis di Damaskus, Suriah yang saat itu bernama Syam.
Pasukan musuh Imam Husain as pimpinan Umar bin Sa’ad bergerak ke arah lokasi perkemahan Imam Husain as di padang Karbala. Saat itu Imam Husain as sedang duduk tertidur dalam posisi merebahkan kepala di atas lututnya. Beliau terjaga saat didatangi adindanya, Zainab Al-Kubra as yang panik mendengar suara ribut ringkik dan derap kaki kuda.
“Kakanda, tidakkah engkau mendengar suara bising pasukan musuh yang sedang bergerak menuju kita?!” seru Zainab as.
Beliau berkata kepada adik lelakinya, Abbas: “Datangilah kaum itu, dan tanyakan kepada mereka untuk apa mereka kemari?”
Abbas pergi ke arah musuh dan menyampaikan pertanyaan tersebut kepada mereka. Pihak musuh menjawab: “Sang Amir telah memerintahkan agar kalian patuh kepada perintahnya. Jika tidak maka kami akan berperang dengan kalian.”
Abbas kemudian bergegas lagi menghadap Imam Husain as dan menceritakan apa jawaban musuh. Imam berkata lagi kepada Abbas: “Adikku, demi engkau aku rela berkorban, datangilah lagi pasukan musuh itu dan mintalah mereka supaya memberi kami waktu satu malam untuk kami penuhi dengan munajat, doa, dan istighfar. Allah Maha Mengetahui bahwa aku sangat menyukai solat, membaca ALQuran, berdoa, dan beristighfar.”
Abbas kembali mendatangi pasukan musuh untuk menyampaikan pesan tersebut. Setelah mendengar permintaan itu, Umar bin Saad berunding dengan orang-orang dekatnya dan akhirnya ia memutuskan untuk memenuhi permintaan itu. Dia mengirim utusan kepada Imam Husain as. Sesampainya di perkemahan Imam Husain as, utusan Umar berteriak lantang: “Kami beri waktu kalian hingga besok. Jika kalian menyerah, kami akan memboyong kalian ke hadapan Sang Amir. Jika tidak maka kami tidak akan melepaskan kalian.”
Perundingan Pertengahan Malam Asyura
Pertengahan malam Asyura para pemuda Bani Hasyim berkumpul di dalam tenda Abu Fadhl Abbas, adik setia Imam Husain as. Abu Fadhl berkata kepada mereka:
“Saudara-saudaraku sekalian, jika besok perang sudah dimulai, orang-orang yang pertama kali bergegas ke medan pertempuran adalah kalian sendiri agar masyarakat tidak mengatakan bahwa Bani Hasyim telah meminta pertolongan orang lain tetapi mereka ternyata lebih mementingkan kehidupan diri sendiri ketimbang orang-orang lain….”
Para pemuda Bani Hasyim itu menjawab: “Kami taat kepada perintahmu.”
Di tempat lain, dalam tenda Habib bin Madhahir, terjadi perundingan beberapa orang non-Bani Hasyim. Habib bin Madhahir berkata kepada mereka:
“Besok, tatkala perang sudah dimulai, kalianlah yang harus terjun terlebih dahulu ke medan laga, dan jangan sampai kalian didahului oleh seorangpun dari Bani Hasyim, karena mereka adalah para pemuka dan junjungan kita semua… "
"Para sahabat Habib bin Madhahir berkata: 'Kata-katamu benar, dan kami akan setia mentaatinya. "
Esok harinya, Imam Husain as kemudian bergegas mengendarai kuda dan membentuk barisan kecil di depan barisan raksasa pasukan musuh.
Saat pasukan Umar bin Sa'ad sudah berada di atas kuda sambil menyeringai dan siap membantai Imam Husain as dan rombongannya, Imam Husain as memerintahkan Burair bin Khudhair untuk mencoba memberikan nasihat lagi kepada musuh. Namun, apalah artinya kata-kata Burair untuk musuh yang sudah menutup pintu hati nurani mereka itu. Apapun yang dikatakan Burair sama sekali tidak menyentuh jiwa dan perasaan mereka.
Dalam keadaan sedemikian rupa, Imam Husain as bertahan untuk tidak memulai pertempuran antara pasukan hak dan pasukan batil itu. Sebaliknya, beliau masih membiarkan dirinya tenang manakala pasukan Umar bin Sa'ad sudah mulai berulah di sekeliling perkemahan Imam Husain as. Imam Husain memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menggali parit dan menyulut kobaran api.
Saat suasana bertambah panas, Syimir bin Dzil Jausyan berteriak keras memanggil Imam Husain as.
"Hai Husain!" pekik Shimir, "Adakah kamu tergesa-gesa untuk masuk ke dalam neraka sebelum hari kiamat nanti?!"
Begitu mengetahui suara itu berasal dari mulut Syimir, Imam Husain as membalas: "Hai anak pengembala sapi, kamulah yang pantas menghuni neraka."
Melihat kekurangajaran Syimir kepada cucu Rasul itu, Muslim bin Ausajah mencoba melepaskan anak panahnya ke tubuh Syimir. Namun Imam Husain as mencegahnya.
"Jangan!" seru Imam Husain as. "Aku tidak ingin menjadi pihak yang memulai peperangan."
Setelah itu, beliau mencoba menuntaskan hujjahnya dengan kalimat dan penjelasan panjang mengenai siapa beliau dengan harapan bisa membuka hati nurani musuh. Semua orang terdiam mendengar kata-kata Imam Husain as sampai Qais bin Asy'ats berani berteriak: "Kata-katamu ini sudah tidak ada gunanya lagi. Kamu tak usah berperang dan lebih baik menyerah kepada anak-anak pamanmu itu karena mereka tidak akan berbuat jahat terhadapmu."
Imam Husain as berkata: "Demi Allah, aku tidak akan menyerah kepada kalian. Aku tidak bersedia menjadi orang hina di depan orang-orang durhaka. Aku tidak akan membebani diriku dengan ketaatan kepada aturan manusia-manusia yang terbelenggu."
Puteri Fatimah Azzahra ini kemudian membacakan dua ayat suci dalam AlQuran dengan suara lantang:
"Sesungguhnya aku hanya berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari kehendak kalian untuk merajamku."
"Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari setiap manusia takabur yang tak beriman kepada hari pembalasan."
Imam Husain as kemudian meminta Umar bin Sa'ad datang mendekati beliau. Meski dengan berat hati dan gengsi, Ibnu Sa'ad memenuhi permintaan Imam Husain as.
"Hai Ibnu Sa'ad!" seru Imam Husain as, "Apakah kamu akan membunuhku supaya Abdullah bin Ziyad si anak zina dan putera zina itu menyerahkan kekuasaan di Rey dan Jurjan kepadamu? Demi Allah, apa yang kamu harapkan itu tidak dapat kamu capai. Kamu tidak akan pernah mendapatkan kekuasaan di dua wilayah itu."
Kata-kata Imam Husain as ini memancing emosi Umar bin Sa’ad. Dia segera berpaling ke arah pasukannya sambil berteriak: “Apa yang kalian tunggu? Cepat bereskan si pemalas ini. Seranglah Husain dan para pengikutnya yang jumlahnya hanya segelintir itu.”
Imam Husain as segera bergegas menunggangi kudanya. Orang-orang yang ada masih tetap dimintanya untuk tenang. Ketika mereka bersedia diam, beliau masih mencoba menyampaikan sebuah khutbah untuk menyadarkan hati mereka.
Jiwa Hur Tersentuh Kalimat Imam Husain
Kata-kata Imam Husain as berhasil menyentuh nurani hati salah seorang komandan musuh bernama Hurr bin Yazid Arriyahi. Dia memberanikan diri untuk mendekati Imam Husain as sambil meletakkan telapak tangan di kepalanya. Dia bertaubat dan disambut baik oleh Imam Husain.
Hurr kemudian meminta diri dari Imam Husain as dan pergi mendekati pasukan Umar bin Sa’ad yang kini sudah menjadi musuhnya. Di depan mereka Hurr memberondongkan kata-kata pedas dan kutukan. Begitu kata-kata Hurr tuntas, beberapa orang pasukan Ibnu Sa’ad membidikkan anak panah ke arah Hurr. Hurr bergegas pergi menghadap Imam Husain as untuk memohon instruksi penyerangan.
Serentak dengan ini, Umar bin Sa’ad berteriak kepada budaknya: “Hai Duraid, cepat maju!” Umar mengambil sepucuk anak panah dan memasangnya ke tali busur sambil berteriak lagi: “Hai orang-orang, saksikanlah bahwa aku adalah orang pertama yang membidikkan anak panah ke arah pasukan Husain.” Anak panah itu melesat.
Sayid Ibnu Thawus meriwayatkan, melesatnya anak panah Umar bin Sa’ad segera disusul dengan hujan panah dari anak buahnya ke arah pasukan Imam Husain as. Imam Husain pun menurunkan instruksi untuk melakukan perlawanan.
Imam Husain as mengizinkan permohonan Hurr untuk maju sebagai orang pertama yang berjihad. Hurr pun maju dengan gagah berani. Selama melakukan perlawanan dan serangan di tengah pasukan musuh yang mengerubunginya, Hurr sempat melihat anak dan saudaranya yang juga termasuk anggota ribuan pasukan musuh. Hurr meminta putera dan saudaranya supaya bertobat. Keduanya bertaubat dan gugur setelah bertempur dan berhasil menghabisi pasukan musuh dalam jumlah besar. Hurr sendiri gugur setelah memberikan persembahan yang tak kalah besarnya.
Gugurnya mereka disusul dengan majunya pengikut setia Imam Husain bernama Muslim bin Ausajah. Sahabat setia itu tersungkur dan syahid setelah memporak-porandakan sebagian barisan pasukan musuh dan menuai nyawa mereka.
Saat solat dhuhur tiba, atas perintah Imam, pengikut beliau bernama Habib bin Madhahir meminta diberi waktu untuk menunaikan solat. Namun dia disambut dengan kekerasan sehingga dia terpaksa menghantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan musuh mengakibatkan sejumlah orang tewas. Dia bertempur dan saat kecapaian dalam bertahan dan menyerang, hantaman pedang musuh lolos dari tangkisannya dan langsung mendarat di bagian kepalanya. Habib terjerembab dari atas kuda. Dalam keadaan lunglai, Habib mencoba bangkit bertahan. Namun, berdirinya Habib segera disusul dengan ayunan pedang Hushain bin Namir yang menghantam kepalanya. Sahabat setia Imam Husain as ini roboh dalam kondisi mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hushain datang lagi dan memenggal kepada Habib hingga terpisah dari jasadnya.
Imam Husain as kemudian memerintahkan Zuhair bin Al-Qain dan Said bin Abdullah untuk berbaris di depan Imam Husain bersama separuh pasukan beliau yang masih tersisa untuk mengawal solat beliau bersama separuh pasukan dan pengikut Imam Husain as lainnya, karena pasukan musuh tidak mengizinkan beliau solat.
Kekejaman musuh keluarga Nabi SAWW itu ternyata tak kenal waktu. Said bin Abdullah yang berdiri tepat di depan Imam Husain as menjadi sasaran beberapa anak panah. Tak urung, pria pemberani ini gugur setelah menjadi perisai hidup Imam Husain as. Dia roboh tepat di depan mata junjungannya yang suci itu.
Pembantaian terhadap Said hingga gugur itu tidak dilanjutkan musuh sehingga Imam Husain as melanjutkan solat hingga tuntas. Seusai solat, Imam kembali menyiramkan semangat jihad kepada para pengikutnya.
Para pahlawan Karbala pengikut Imam Husain kemudian terjun ke medan laga dan bahu membahu membela junjungannya dari kebejatan kaum zalim. Selagi tenaga masih tersisa mereka tak membiarkan siapapun untuk menjamah kehormatan cucu Rasul itu. Bahkan para pengikut Imam Husain as dari kalangan non-Bani Hasyim tidak membiarkan seorangpun dari Bani Hasyim yang terjun ke medan laga melawan musuh sebelum mereka sendiri yang maju.

Kemenangan dalam berjuang tidak selalu berbentuk kemenangan lahiriyah. Adakalanya gugur dalam perjuangan juga merupakan sebuah kemenangan besar. Tak salah bila ada pepatah yang mengatakan: darah mengalahkan pedang. Kisah Karbala adalah salah satu contohnya. Meski sejak awal, seluruh anggota rombongan Imam Husein telah mengetahui bahwa mereka adalah kafilah yang bergerak menuju kematian, tetapi cita-cita luhur dan keyakinan akan kemenangan dengan syahadah membuat mereka mantap melangkah. Kami masih bersama Anda dengan pembicaraan seputar tokoh-tokoh kebangkitan Asyura dan drama yang mereka pentaskan di Karbala.
* * *
Ali Akbar bin Husain as
Ketika rombongan Imam Husein memasuki padang Karbala, terlihat barisan pasukan Ibnu Ziyad yang berbaris bagai batang-batang korma di tengah sahara. Menyadari bahwa ribuan orang bersenjata lengkap yang berada di sana berniat membantai Al-Husein dan keluarganya, Ali Akbar putra Imam Husein bertanya kepada ayahnya, “Ayah, bukankah kita berada di pihak yang benar?” Imam menjawab, “Iya.” Mendengar jawaban itu Ali Akbar berseru, “Kalau begitu tidak alasan bagi kita untuk merasa ragu dan gentar.”
Saat Ali Akbar maju ke medan tempur untuk menunjukkan kesetiaannya kepada sang ayah dan imam yang ia ikuti, Al-Husein dengan berlinang air mata memandang nanar ke arah putranya dan berkata, “Ya Allah, saksikankah pemuda yang paling mirip wajah, tutur kata dan perangainya dengan Rasul-Mu, kini maju ke medan tempur. Selama ini, kami mengobati kerinduan kepada Nabi dengan memandangnya. Ya Allah, jauhkan mereka dari barakah bumi ini dan cabik-cabiklah barisan mereka.”
Ali Akbar maju dan dengan gesit dia menari-narikan pedangnya. Beberapa orang yang menghadangnya terjerembab ke tanah terkena sabetan pedang putra Al-Husein. Tak lama kemudian, kisah kepahlawanan dan kesetiaan Ali Akbar menjadi lengkap setelah sebilah pedang mendarat di tubuhnya. Ali Akbar jatuh tersungkur dan musuh-musuh berhamburan menyambutnya dengan mendaratkan pukulan pedang bertubi-tubi ke tubuh pemuda tampan itu. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Ali Akbar berseru kepada ayahnya dengan mengatakan, “Ayah, Rasulullah telah memberiku air. Beliau menunggu kedatanganmu.” Cucu Rasul itu gugur syahid dengan meninggalkan pelajaran berharga tentang kesetiaan dan pengorbanan dalam membela kebenaran.

Qasim bin Hasan as
Mungkin kisah Qasim putra Imam Hasan as di Karbala adalah kisah yang paling menarik tentang kesetiaan dan pengorbanan. Kemenakan Imam Husein yang saat itu masih sangat belia, yaitu berusia kurang dari lima belas tahun, telah menyuguhkan pelajaran yang amat berharga. Di hari Asyura, saat pembantaian di Padang Karbala berlangsung, Qasim menatap pilu medan laga. Imam Husein mendatanginya dan bertanya, “Qasim, bagaimana engkau memandang kematian?” Qasim menjawab, “Kematian bagiku lebih manis dari madu.” Ya, remaja belia yang terdidik di rumah kenabian dan wilayah itu telah hanyut dalam cinta rabbani dan tak sabar menunggu saat-saat yang paling indah bertemu dengan sang Pencipta. Qasim maju ke medan laga dan gugur sebagai syahid.

Jaun bin Abi Malik
Jaun bin Abi Malik, adalah bekas budak Abu Dzar Al-Ghifari yang kemudian mengabdi di rumah Imam Ali, Imam Hasan, dan terakhir di rumah Imam Husein as. Di siang hari Asyura, Jaun dari dekat menyaksikan dan merasakan penderitaan yang dialami oleh keluarga Nabi dan para pengikut setia mereka di Padang Karbala. Meski tidak terlibat dalam konflik, Jaun tidak mau tinggal diam. Dia bangkit dan meminta ijin kepada Imam Husein untuk mempersembahkan darahnya dalam membela keluarga Nabi. Imam Husein yang terkenal bijak mengatakan, “Wahai Jaun, jangan celakakan dirimu. Engkau telah kumerdekakan.”
Jaun menangis, dan sambil mencium kaki tuannya, dia berkata, “Tuanku, selama ini aku hidup sejahtera di rumahmu. Aku tidak bisa tinggal diam menyaksikan engkau dan keluargamu menghadapi kesulitan ini. Demi Allah aku tidak akan meninggalkanmu sampai darahku bercampur dengan darahmu yang suci.” Budak berkulit hitam itu menunjukkan kesetiaan seorang hamba kepada tuannya. Jaun mengajarkan makna sejati dari balas budi. Setelah mendapat ijin, bekas budak Abu Dzar itu maju ke medan laga dan mempertontonkan semangat pengorbanan untuk keluarga Rasul. Untuknya Imam Husein berdoa, “Ya Allah putihkan wajahnya, masukkanlah ia ke dalam golongan orang-orang yang baik dan jangan pisahkan dia dari keluarga Muhammad.”

Wahb bin Abdullah
Wahb bin Abdullah adalah salah seorang pengikut setia Imam Husein. Sebelum bertemu Imam Husein, Wahb adalah pengikut agama Nasrani. Di tangan Imam Husein, dia dan ibunya masuk Islam. Saat berada di padang Karbala bersama Imam Husein, Wahb baru 17 hari menikah. Sebagai bukti kesetiaan kepada penghulu pemuda surga dan pemimpin umat itu, Wahb maju ke medan tempur. 24 penunggang kuda dan 24 prajurit pejalan kaki berhasil ditumbangkannya. Namun Wahb berhasil ditangkap dan dibawa menghadap Umar bin Saad komandan pasukan Ibnu Ziyad.
Wahb gugur syahid setelah Ibnu Saad mengeluarkan perintah pemenggalan kepalanya. Kepala tanpa badan itu dikirim ke perkemahan Imam Husein. Ibu Wahb dengan bangga mencium kepala anaknya yang gugur dalam membela kebenaran. Kepala itu dilemparkannya ke arah musuh sambil berkata, “Aku tidak akan mengambil kembali apa yang telah kupersembahkan untuk Islam.” Tak cukup dengan persembahan itu, wanita tua itu mengambil sebatang kayu dan berlari ke arah musuh. Ibu Wahb ingin menyusul anaknya yang telah mendahuluinya terbang ke surga. Namun Imam Husein mencegahnya dan mendoakan kebaikan untuknya.
Kisah pengorbanan sahabat Nabi dalam perang Uhud yang menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup untuk melindungi Rasulullah, terulang kembali di padang Karbala. Di hari Asyura, pasukan Ibnu Ziyad tidak memberikan kesempatan kepada Imam Husein dan para sahabatnya untuk melaksanakan kewajiban shalat. Saat Imam Husein berdiri untuk mengerjakan shalat berjemaah dengan para sahabatnya, Said bin Abdillah Al-Hanafi berdiri melindungi putra Fatimah itu dari terjangan tombak dan anak panah yang meluncur ke arah Imam Husein. Tubuh Said dipenuhi oleh tombak dan anak panah.
Said roboh. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ia berkata, “Ya Allah, sampaikan salamku kepada Nabi-Mu Muhammad. Katakan kepada beliau bahwa luka-luka di sekujur tubuhku ini kudapatkan ketika melindungi dan membela cucu kesayangannya yang tengah memperjuangkan agama dan kebebasan.” Mata sayu Said untuk beberapa saat memandang wajah pemimpinnya. Dia berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah aku sudah melaksanakan janji setiaku?” Imam Husein menjawab, “Ya, engkau telah mendahuluiku masuk ke surga.”

Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri
Kisah Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri di Karbala adalah kisah cinta yang luhur. Selain dikenal pemberani dan piawai dalam bertarung di medan tempur, Abis juga terkenal sebagai ahli ibadah dan rajin melaksanakan shalat tahajjud. Di malam Asyura, Abis mendatangi kemah Imam Husein. Kepada beliau, Abis mengatakan, “Demi Allah, tidak ada seorangpun di dunia ini yang kucintai dan aku hormati lebih dari dirimu, wahai putra Rasulullah. Jika ketulusan cinta ini dapat aku tunjukkan dengan mengorbankan sesuatu yang lebih berharga dari jiwa dan ragaku, pasti akan kulakukan.” Abis gugur syahid setelah pasukan musuh yang kewalahan dalam menghadapinya, menghujaninya dengan batu-batuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Comment Blog ini untuk dijadikan sebagai editan baru demi kelengkapan isi dalam blog ini